Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini SUARA KARYA, Jum'at, 28 Juni 2013
Betapa
seringnya kita mendengar soal krisis kepemimpinan. Tak cuma terkait dengan kaderisasi
kepemimpinan, tetapi juga karakter kepemimpinan. Pemimpin-pemimpin di negeri
ini acapkali diragukan integritasnya. Terkait karakter kepemimpinan, kita tentu
saja tak bisa melakukan generalisasi. Di tengah pemimpin-pemimpin yang dinilai
buruk, masih ada pemimpin-pemimpin yang terpuji. Di negeri ini masih terdapat
pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab membangun kehidupan masyarakatnya.
Yang perlu
disadari, menjadi pemimpin itu sebenarnya merupakan tanggung jawab yang tak
ringan. Pemimpin harus mampu membawa masyarakatnya pada kehidupan yang baik,
adil, sejahtera, dan senantiasa dalam limpahan berkah Ilahi. Mungkin adakalanya
pemimpin itu lupa dengan tanggung jawabnya. Kekuasaan acapkali melenakan,
sehingga pemimpin lalai mengurusi masyarakatnya. Maka, sesungguhnya pemimpin
itu harus terus-menerus melakukan evaluasi diri. Sebagai manusia, kekurangan
memang bisa dimaklumi, namun pemimpin yang baik harus senantiasa memperbaiki
sikap dan perilaku kepemimpinannya. Pemimpin yang rendah hati pun harus
menerima teguran dan kritik masyarakat agar lebih bisa mengaca diri untuk
melakukan perbaikan.
Di sisi lain, tak salah apabila kita juga dituntut memotivasi, memberikan inspirasi, dan membangun spirit kepada pemimpin agar bekerja secara baik dan bertanggung jawab. Yang namanya manusia itu mudah lupa, maka kita mengingatkan pemimpin untuk memegang teguh janji setianya sebagai pemimpin untuk membangun kemaslahatan kehidupan masyarakat. Pemimpin tak hanya pada lingkup negara, tetapi juga pemimpin dalam lingkup daerah, seperti gubernur, bupati, walikota, bahkan ketua RT. Begitu juga anggota DPR/DPRD adalah pemimpin yang bertanggung jawab memperhatikan kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, penulis mencoba menceritakan sebuah kisah dari khazanah literatur Islam. Ada pelajaran berharga di dalamnya yang bisa dijadikan cermin oleh para pemimpin di negeri ini.
Dikisahkan, ketika itu Khalifah Umar bin Khaththab berkeliling Madinah dan menjumpai anak-anak menangis di malam hari karena perutnya kosong. Agar anak-anaknya terdiam dan tertidur, sang ibu yang anak-anaknya menangis itu berpura-pura membuatkan makanan, padahal tungku yang dipanasi hanya berisi air dan batu. Umar bin Khaththabpun bertanya dan bercakap-cakap dengan sang ibu yang tak tahu kalau yang berbicara itu adalah sang khalifah. Jawaban menyentuh sang ibu sungguh menghentak ketika Umar bin Khaththabbertanya, “Engkau tak memberi tahu Khalifah Umar?”. Pernyataan dari jawaban sang ibu yang juga menegur siapa pun pemimpin di negeri ini. Apakah jawaban sang ibu yang anak-anaknya menangis karena kelaparan itu? “Dialah yang seharusnya mengetahui keadaan kami. Dia memiliki kuda dan juga ribuan pegawai dan tentara. Dia seharusnya tak tidur nyenyak di rumahnya, sementara ada rakyatnya seperti kami yang kedinginan dan kelaparan,” jawab sang ibu.
Siapa pun pemimpin memang seyogianya menyadari bahwa kekuasaan yang dipegangnya mengandung kewajiban untuk menyejahterakan masyarakat. Seperti Umar bin Khaththab yang tersentuh dengan jawaban sang ibu, pemimpin tak bisa begitu saja melihat penderitaan rakyatnya tanpa tindakan nyata. Tanpa menunggu esok hari, Umar bin Khaththabyang menyadari amanah kepemimpinan langsung bertindak cepat mengambil bahan makanan. Ketika pembantunya mencegah Umar bin Khaththabmembawa sendiri bahan makanan itu di pundaknya, Umar bin Khaththabberucap, ”Apakah kamu juga akan memanggul dosaku di hari kiamat kelak!”. Dialah Umar bin Khaththabyang tetap membingkai kepemimpinannya dengan nafas akhirat.
Diakui atau tidak, kehidupan sebagian masyarakat di negeri ini belum sepenuhnya terjamin secara layak. Kemiskinan dan kelaparan masih dirasakan sebagian masyarakat. Ketika menjumpai seorang ibu yang anak-anaknya kelaparan, Umar bin Khaththabtak mengabaikan kehidupan masyarakat yang dipimpinnya. Umar bin Khaththabmenyadari amanah kepemimpinannya dan ingin hidup bersama masyarakat sehingga beliau berkeliling Madinah. Tak sekadar mengandalkan laporan, Umar bin Khaththabterjun sendiri menyaksikan wajah masyarakatnya meskipun larut malam. Mungkin istilah yang populer belakangan ini adalah blusukan kampung.
Sebagaimana Umar bin Khaththab, pemimpin seharusnya merasa takut kepada Allah SWT ketika mendengar kasus gizi buruk dan busung lapar. Bertindak nyata bagi kehidupan masyarakat perlu ditunjukkan oleh pemimpin yang tak membiarkan kasus kelaparan di negeri ini mencuat setiap tahunnya. Pemimpin dengan kekuasaannya seharusnya bisa melindungi masyarakatnya dari keterpurukan dan ketidakberdayaan. Tentu saja, sebagian masyarakat yang hidupnya kurang layak di negeri ini membutuhkan kepedulian dan tindakan nyata dari pemimpinnya. Pernah Aisyah berkata: ”Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda dalam rumahku,”Ya Allah, barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku kemudian ia membuat kesengsaraan pada mereka, maka berilah kesengsaraan kepada orang itu sendiri, sedangkan barangsiapa yang menguasai sesuatu dari urusan pemerintahan umatku kemudian ia menunjukkan kasih-sayang kepada mereka, baik ucapan ataupun perbuatannya, maka kasih sayangilah orang itu."(HR. Muslim). Dari apa yang dituturkan Rasulullah SAW, pemimpin memang hendaknya mengurusi masyarakatnya secara baik. Pemimpin harus memberikan kasih sayangnya kepada masyarakat yang dipimpinnya.
Pungkasnya, tanggung jawab pemimpin amatlah berat. Pemimpin adalah pemelihara kehidupan masyarakatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban terkait kehidupan masyarakatnya secara vertikal moral di hadapan Allah SWT. Seorang pemimpin bukanlah dinilai dari retorika yang diucapkan, tetapi tindakan nyata untuk menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat. Selain memajukan kesejahteraan masyarakat, pemimpin bertanggung jawab mencerdaskan masyarakatnya. Pemimpin bertanggungjawab menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang senantiasa diselimuti keberkahan Ilahi. Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).