Yogyakarta, Kota Membaca?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 8 Mei 2013 

Menyusuri kota Yogyakarta, kita akan dibuat terkesima dengan spanduk-spanduk perhelatan pameran atau pasar buku. Hampir setiap bulan senantiasa terselenggara. Biasanya bertempat di Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, Jogja Expo Center (JEC), bahkan belakangan ini bertempat di Gedung Olahraga Universitas Negeri Yogyakarta (GOR UNY). Tema pameran buku beragam. Intinya, ingin menggiatkan perbukuan di kota pendidikan ini. 

Yogyakarta dengan buku tentu tidak mengagetkan lagi. Di kota ini, penerbit-penerbit buku bertebaran. Sepakat dengan pernyataan Herry Zudianto (2011), ketika kita berbicara tentang Yogyakarta sebagai kota pelajar atau kota pendidikan, maka tentunya tidak dapat dilepaskan dengan ilmu pengetahuan, ide, inovasi, kreatifitas, wawasan lokal maupun wawasan global. Dalam kaitannya dengan itu semua, lanjut mantan Walikota Yogyakarta itu, maka buku merupakan media yang menjadi jembatan yang mampu mengantarkan kita menjadi apa yang sering dikatakan orang sebagai cendekiawan atau kaum terdidik atau kaum yang berwawasan luas. Masyarakat Yogyakarta dengan heterogenitasnya, lanjut Kang Herry, diharapkan mempunyai budaya membaca yang tinggi, sehingga mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. 

Dari pernyataan Kang Herry itu, sebenarnya ada sebuah tantangan untuk menjadikan kota Yogyakarta sebagai Kota Membaca, bukan sekadar Kota Buku. Pekerjaan menyelesaikan tantangan itu, menurut penulis, belumlah selesai. Kita masih perlu menanamkan minat membaca bagi setiap warga Yogyakarta. Tentu tidak semua masyarakat Yogyakarta bisa ke Perpustakaan Daerah (Perpusda) DIY atau Perpustakaan Kota (Perpuskot) untuk meminjam atau membaca buku. Maka, keberadaan taman bacaan masyarakat (TBM) di setiap kampung perlu digiatkan. Membaca tidak hanya buku, tetapi bisa surat kabar.

Ketersediaan bahan bacaan akan berbanding lurus dengan budaya membaca masyarakat dicontohkan Jepang. Besarnya minat membaca masyarakat Jepang salah satunya ditopang oleh bahan bacaan yang melimpah. Toeti Adhitama (2008) memaparkan bahwa ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Di Jepang, setiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, setiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan setiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan. 

Jadi, penumbuhan minat membaca perlu bergerak beriringan dengan penyediaan bahan-bahan bacaan. Masyarakat Yogyakarta perlu terus-menerus ditanamkan kesadaran pentingnya membaca. Gerakan cinta membaca layaklah digalakkan. Tidak kalah penting, membangun budaya membaca di lingkungan keluarga dan sekolah tidak mungkin dialpakan. Kita pun mengingatkan Forum Komunikasi Pengurus OSIS (FKPO) dan Forum Antar-Kerohanian Islam (Farohis) untuk memasifkan Gerakan 10 Menit Membaca sebelum beraktivitas yang tahun 2012 lalu diluncurkan. 

Kita tentu mendambakan setiap warga Yogyakarta suka membaca di mana pun. Pemerintah kota Yogyakarta tentu tidak boleh pasif, minimal membudayakan membaca bagi pejabat birokrasi. Saran penulis, iklan-iklan pentingnya membaca perlu dipasang di berbagai tempat. Itu lebih bermanfaat ketimbang iklan-iklan yang mengundang konsumerisme masyarakat. Yogyakarta perlu menjadi kota yang berbeda dengan kota-kota besar lainnya, minimal memiliki ciri khas budaya membaca di ruang-ruang publik.

Sesungguhnya membaca berdampak besar bagi kehidupan. Dengan membaca, ilmu, pengetahuan, dan wawasan bertambah. Membaca bisa meluaskan pemikiran, cara pandang, dan persepsi seseorang dalam memandang kehidupan agar tidak sempit. Membaca juga bisa meningkatkan kualitas kinerja di tempat kerja. Masih banyak manfaat membaca lainnya, tentu saja dengan membaca bahan-bahan bacaan yang positif dan bergizi. Menarik untuk direnungkan pernyataan Fuad Hassan (2004) berikut ini, “Tak ada pilihan lain untuk hidup dalam masyarakat modern, kecuali bisa dan suka membaca. Kalau modernisasi ditandai pertama-tama oleh ikhtiar untuk mengatasi ignoransi, maka ignoransi teratasi pertama-tama oleh kemampuan dan kemauan membaca. 

Menjadikan Yogyakarta sebagai Kota Membaca harus terus-menerus diupayakan. Membaca tidak hanya aktivitas bagi pelajar, mahasiswa, dan kaum akademisi. Membaca juga perlu menjadi kebutuhan ibu rumah tangga, petani, pedagang, tukang becak, buruh pabrik, dan profesi lainnya. Yogyakarta, Kota Membaca, bisa! Wallahu a’lam.(HENDRA SUGIANTORO).

0 komentar: