Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Resensi MALANG POST, Minggu, 21 April 2013
Judul Buku: Apapun Partainya, Korupsi Hobinya Penulis: A. Yusrianto Elga Penerbit: IRCiSod, Yogyakarta Cetakan: I, Maret 2013 Tebal: 176 halaman ISBN : 978-602-7933-01-9
Bung Karno pernah mengatakan bahwa cara melawan kekuatan uang (logistik) adalah kekuatan ideologi. Betapa pun uang sangat menggiurkan, uang tak akan pernah mampu menjebol dinding-dinding ideologi yang terbangun kuat. Pernyataan Presiden RI pertama itu seolah-olah menggelitik kita. Benarkah ideologi tameng dari perbuatan korupsi? Nyatanya, partai politik (parpol) yang mengaku memiliki ideologi justru memproduksi koruptor.
Judul Buku: Apapun Partainya, Korupsi Hobinya Penulis: A. Yusrianto Elga Penerbit: IRCiSod, Yogyakarta Cetakan: I, Maret 2013 Tebal: 176 halaman ISBN : 978-602-7933-01-9
Bung Karno pernah mengatakan bahwa cara melawan kekuatan uang (logistik) adalah kekuatan ideologi. Betapa pun uang sangat menggiurkan, uang tak akan pernah mampu menjebol dinding-dinding ideologi yang terbangun kuat. Pernyataan Presiden RI pertama itu seolah-olah menggelitik kita. Benarkah ideologi tameng dari perbuatan korupsi? Nyatanya, partai politik (parpol) yang mengaku memiliki ideologi justru memproduksi koruptor.
Buku ini hendak menyadarkan pihak mana pun, terutama masyarakat, untuk tidak mudah tergiur dengan kemegahan janji-janji parpol. Apalagi menjelang Pemilu 2014, masyarakat perlu waspada dengan munculnya calon-calon anggota legislatif yang sekadar ingin menumpang kendaraan politik demi mempertebal uang semata. Kita boleh saja mencela Orde Baru dengan ulah korupsinya, namun apakah korupsi di era reformasi yang selalu dikatakan paling demokratis tidak tumbuh subur? Di masa Orde Baru, praktik busuk korupsi hanya terjadi di lingkaran eksekutif dan orang-orang tertentu. Kini, korupsi bukan lagi menyangkut individu atau perseorangan, namun dilakukan secara berjamaah. Selama 2004-2011 saja, berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada sekitar 1.408 kasus korupsi dengan kerugian negara sekitar Rp. 39,3 triliun (hlm. 8-9).
Diakui maupun tidak, negeri ini
dapat dikatakan telah tersandera oleh korupsi. Rakyat dibiarkan merana di
tengah politisi-politisi yang menari kekenyangan. Akibatnya, negeri ini hanya
berjalan di tempat tanpa kemajuan berarti. Memang setiap parpol memiliki
ideologi masing-masing, tetapi kesejahteraan dan keadilan sosial bukan sebagai
tujuan mulia. Boleh jadi uang telah menjelma ideologi tersendiri. Perjuangan
dan idealisme parpol seharga nilai mata uang. Yang bertambah menyesakkan,
parpol yang mengatasnamakan agama terjerembab pula pada pusaran korupsi. Parpol
Islam ternyata tidak amanah. Bahkan, kita seakan-akan tak habis pikir, perilaku
korupsi yang kini melanda sejumlah kader parpol tidak dianggap sebagai
penyimpangan moral (hlm. 25-48).
Maraknya kasus korupsi tentu saja menciderai nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama, kedua, dan kelima. Koruptor tidak menjiwai sepenuhnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. karena melakukan perbuatan yang dilarang Tuhan. Korupsi adalah pelanggaran hak asasi manusia karena menyebabkan rakyat menderita. Padahal, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab selayaknya ditegakkan. Dengan perbuatan korupsi, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia kian tertatih-tatih untuk diwujudkan.
Tentu, politik yang sejatinya mulia perlu dikembalikan ke hakikatnya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang lebih baik. Kalimat Lord Acton dalam suratnya kepada uskup Mandell Creighton pada April 1887 bahwa “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely” selayaknya dijadikan sebagai kontrol bagi parpol dan politisi untuk berhati-hati menduduki kursi kekuasaan. Parpol hendaknya berbenah. Menurut penulis buku ini, parpol perlu memberikan perhatian terkait pendidikan antikorupsi terhadap kader-kadernya. Tidak kalah penting, parpol harus proaktif mengawal, mengevaluasi, serta mengingatkan komitmen perjuangan kader-kadernya. Tak dimungkiri apabila parpol jarang mengevaluasi kinerja kadernya yang pernah duduk di lembaga negara.
Buku ini menjadi teguran keras bagi parpol. Sebagai institusi demokrasi, parpol diharapkan menjalankan demokrasi sebagaimana mestinya. Demokrasi sejatinya adalah cara mencapai kemaslahatan kehidupan rakyat. Parpol seyogianya tidak menyandera negeri ini dengan korupsi yang sewaktu-waktu bisa membuat rakyat marah. Kemarahan rakyat bisa memunculkan golputkrasi. Di sisi lain, masyarakat diajak bersikap kritis dan berpikir jernih. Sebagai ikhtiar melawan lupa yang kerapkali menghinggapi benak masyarakat, buku ini pun menguliti kader-kader parpol yang pernah tersangkut korupsi. Tanpa tedeng aling-aling, penulis buku juga membeberkan permainan kotor politik yang biasa dimainkan politisi untuk merampok uang negara.
Tentu, tak ada salahnya apabila parpol meneladani jejak organisasi
pergerakan nasional tempo dulu yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia.
Kepentingan yang diperjuangkan jelas, yakni kepentingan rakyat agar terbebas
dari penjajahan. Sesungguhnya rakyat negeri ini merindukan politisi yang
berhati nurani dan berdedikasi. Politisi yang benar-benar konsisten
memperjuangkan cita-cita luhur bangsa ini dengan rekam jejak politik yang
bersih, jujur, dan amanah. Dengan menjamurnya borok korupsi, negeri ini memang
harus segera diselamatkan (hlm. 165-170). Bukan hanya doa agar kita bersabar
menghadapi praktik busuk korupsi (hlm. 172), namun masyarakat perlu melakukan
tindakan. Masyarakat minimal perlu menyatukan gerakan menolak politisi busuk yang
menunggangi Pemilu 2014 agar negeri ini tidak lagi disandera korupsi. (HENDRA
SUGIANTORO).
0 komentar:
Posting Komentar