Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Kampus SUARA MERDEKA, Sabtu, 20 April 2013
Pada 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Apa
pelajaran yang bisa kita petik dari sosok perempuan
kelahiran Jepara, Jawa Tengah, itu, khususnya bagi
dunia kampus dan mahasiswa? Pendidikan formal Kartini (1879-1904) memang tidak sementereng kakaknya, Sosrokartono.
Kakaknya yang tamatan Universitas Leiden Belanda itu konon sarjana pertama
negeri ini yang getol dengan kebudayaan Jawa.
Kartini,
meskipun hanya tamatan
sekolah rendah, sebenarnya tidaklah
kalah dengan sarjana-sarjana di zamannya. Bahkan, dengan sebagian sarjana
jebolan perguruan tinggi saat ini. Harus diakui, Kartini
yang usia hayatnya hanya seperempat abad
mempunyai wawasan, pengetahuan,
dan pemikiran yang
luas. Tradisi pingit sejak usia 12
tahun bukan berarti “memingit” petualangannya mencari dan
menimba ilmu. Kartini tekun dan giat belajar. Sahabat-sahabat penanya juga
turut jadi mitra dialektika Kartini. Salah
satu media untuk membaca pemikiran-pemikiran Kartini adalah surat-suratnya yang
dikumpulkan J.H. Abendanon pada 1911 dan diberi judul Door Duisternis Tot Licht. Dalam edisi Indonesia pernah diterjemahkan, antara
lain oleh Armin Pane (Habis Gelap
Terbitlah Terang) dan Sulastin Sutrisno (Surat-Surat Kartini, Renungan tentang dan untuk
Bangsanya).
Kalau kita mengkaji kumpulan
suratnya, kita akan menemukan begitu ragamnya
pemikiran Kartini. Kartini
memiliki buah pemikiran yang luar biasa dalam persoalan pendidikan, sosial, kebudayaan, pers, dan pelbagai
hal lainnya. Artinya,
Kartini tidak melulu membicarakan masalah perempuan. Ketika Kartini kepada Estelle Zeehandelaar (Stella) pada 18 Agustus 1899
menegaskan pentingnya kapasitas pikiran dan moral, Kartini
membuktikan hal itu.
Terserah pendidikan formal mau sampai jenjang apa, ia
tidak ambil pusing. Dengan menjelajahi aneka bahan bacaan, Kartini terus
berikhtiar mencapai “keningratan pikiran”. Tanpa
kenal bosan, Kartini bisa menelaah bahan bacaan sampai berkali-kali demi memperoleh pemahaman.
Ternyata,
tak sekadar doyan bacaan, Kartini juga produktif menulis. Membaca dan menulis
seolah-olah adalah jiwanya. Perhatikan kalimat berikut ini, “Orang dapat merampas banyak dari kami, ya semuanya,
tapi jangan pena saya! Ini tetap milik saya dan saya akan berlatih dengan rajin
menggunakan senjata itu.”(Kartini, 1902).
Sepenggal kalimat Kartini itu begitu heroik. Tak cuma surat-surat, Kartini ketika
menulis untuk menuangkan isi pikirannya juga merambah surat kabar. Dalam majalah sastra seperti Het
Nederlansche Lelle, De Gids, De Echo, dan lain-lain, Kartini menyumbangkan
tulisan-tulisan yang tandas bunyinya, berbentuk ulasan-ulasan dan analisis sosial.
Misalnya, sepenggal prosa brilian diguratkan Kartini dalam De Echo sekitar tahun 1900 di bawah kepala karangan Een Gouverneur Generaalsdag yang
melukiskan kedatangan seorang gubernur jenderal di tanah jajahan, yang disambut
oleh anak negeri dengan sinis (Suryanto
Sastroatmodjo: 2005).
Becermin pada Kartini, ada spirit intelektualitas dari sosok perempuan yang dimakamkan di Rembang itu. Kartini memang tidak menamatkan jenjang perguruan
tinggi. Namun, menurut penulis,
Kartini bisa dikatakan sebagai “sarjana” di masanya. Yang perlu diperhatikan,
Kartini tidak sekadar mementingkan kepemilikan pengetahuan. Menurut Kartini
(1902), berpengetahuan luas belumlah sekali-kali menjadi ijazah tanda mulia
budi pekerti seseorang. Benar kata Kartini
bahwa terhadap pendidikan itu janganlah hanya
akal saja yang dipertajam, tetapi budi pun harus dipertinggi. Apa yang
diutarakan dalam tulisan ini semoga bisa menjadi sepercik inspirasi dan renungan
bagi mahasiswa. Wallahu
a’lam. (HENDRA SUGIANTORO).
0 komentar:
Posting Komentar