Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN,
Rabu, 28 November 2012
Kondisi bangsa yang
dianggap mengalami kemerosotan moral, akhlak, sikap, perilaku, dan semacamnya
menggugah kesadaran berbagai pihak menggulirkan pentingnya pendidikan karakter.
Dalam beberapa tahun terakhir, pendidikan karakter terus-menerus menjadi buah
bibir dan pikiran untuk diimplementasikan. Hal ini juga tidak terlepas dari seruan Kementerian Pendidikan
(dan Kebudayaan) untuk mengarustamakan pendidikan karakter dalam dunia
pendidikan kita.
Pendidikan karakter
sah-sah saja diusung dan digulirkan. Tidak ada alasan untuk menolak setiap upaya mendidik dan membangun karakter
bangsa. Upaya ini sebenarnya telah dilakukan jauh-jauh hari dalam dunia
pendidikan. Sejak Indonesia merdeka,
pendidikan budi pekerti, pendidikan moral Pancasila, pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan, dan sejenisnya telah keluar-masuk dalam kurikulum pendidikan
nasional. Bahkan, pendidikan agama dalam kurikulum pendidikan tidak dialpakan. Namun, kita meradang bahwa pendidikan dengan
macam-macam nama itu tidak
kunjung menjadikan masyarakat-bangsa ini lebih baik. Kini kita seolah-olah
ingin menghadirkan konsep pendidikan karakter sebagai solusi. Pendidikan
karakter diasumsikan mampu mengatasi segala kemelut persoalan dan
degradasi karakter di negeri ini.
Maka, pengertian
pendidikan karakter ditelusuri dari berbagai ahli. Ada pendapat ahli dari luar
negeri yang teorinya kerapkali dikutip. Pendidikan karakter pun dikuatkan
dengan mencari rumusan dari filsuf-filsuf klasik maupun kontemporer. Berbagai pakar di Indonesia pun berusaha
merumuskan definisi dan konsep dari pendidikan karakter. Kini begitu banyak
buku-buku membahas perihal pendidikan karakter. Seminar-seminar pun digelar
dengan harapan konsep pendidikan karakter tidak sekadar melangit, tetapi kuasa membumi. Ciri-ciri dari sebuah karakter
juga bertebaran dengan rumusan yang berbeda-beda.
Apabila dikatakan saat ini begitu banyak
kemerosotan akhlak, moral,
dan karakter pada tubuh bangsa,
sesungguhnya hal tersebut bukanlah permasalahan masa kini semata. Sejak zaman
Nabi Adam, persoalan baik dan buruk telah mencuat. Bahkan, konon ada lempengan
tanah liat di zaman Babilonia pada 3000-an tahun sebelum Masehi yang
arti tulisannya, “Kita mengalami zaman edan dan dunia telah
diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korup. Anak-anak sama sekali
tidak hormat kepada orangtua.” Socrates, Plato, Aristoteles, dan filsuf
Yunani Kuno lainnya telah dipusingkan dalam hal perilaku, moral, dan karakter manusia. Begitu juga dengan
para pemikir pada zaman Masehi. Tuhan pun mengamanahi pada setiap Nabi dan
Rasul yang diutus-Nya untuk memperbaiki dan menyempurnakan perilaku manusia di
setiap zaman agar menjadi lebih baik, mulia, dan terpuji.
Adanya kenyataan kondisi tarik-menarik
antara hal yang baik dan hal yang buruk, maka pendidikan bagi manusia
dijalankan. Secara esensi, pendidikan sebenarnya merupakan proses membangun
karakter, budi pekerti, akhlak, moral individu manusia. Menurut R.M. Hutchins
(1953), sistem pendidikan memiliki tujuan “to
improve as a man”. Pendidikan adalah upaya untuk mengembangkan dan
mengoptimalkan potensi dan seluruh kepribadian individu manusia. Frederick
Mayer (1963) menyebutkan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah “process leading to the elightement of
mankid”. Aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dikembangkan secara
integral, sehingga individu manusia mencapai perkembangan diri yang maksimal
dan optimal. Dengan pendidikan, individu manusia seharusnya memiliki budi
pekerti, akhlak, dan karakter positif. Pendidikan menjadikan manusia mampu
berkontribusi signifikan bagi kebangunan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Lantas, mengapa manusia yang telah
mendapatkan pendidikan tetap saja bersikap dan berperilaku kurang baik?
Kondisi tersebut menegaskan bahwa
pendidikan yang semestinya mendidik manusia belum dilaksanakan dan
berjalan secara baik. Pendidikan
yang gagal mendidik manusia bukanlah kesalahan dari pendidikan, namun kesalahan
dalam penyelenggaraannya. Dalam hal ini, kita perlu belajar terhadap belum
berhasilnya konsep pendidikan budi pekerti dan sejenisnya yang telah dijalankan
sejak Indonesia merdeka. Konsep pendidikan karakter yang menjadi tema utama saat ini juga dimungkinkan mengalami
kegagalan. Menurut penulis, ada empat faktor yang perlu mendapatkan perhatian
seksama.
Pertama, masih kuatnya pemenuhan kemampuan
kognitif sebagai ukuran penilaian pendidikan. Meskipun telah dipahami
pentingnya memperhatikan aspek afektif, aspek spiritual, kecerdasan hati, dan
sejenisnya, tetapi jauh panggang dari api di lapangan. Pemerintah, bahkan
masyarakat masih melihat penilaian kuantitatif sebagai ukuran keberhasilan
peserta didik. Jarang pendidikan mendapatkan penilaian secara kualitatif,
seperti melihat budaya di kelas dan di sekolah yang terbangun, sikap dan
perilaku peserta didik dalam relasi sosial, perilaku peserta didik dalam
relasinya dengan orangtua, dan sebagainya.
Kedua, kebijakan negara
yang justru merusak pendidikan. Kebijakan negara ini bisa dalam konteks
politik, sosial, ekonomi, hukum, dan budaya. Dalam budaya, misalnya, negara
tampak tidak mampu membuat
ketegasan menolak arus budaya yang justru menghancurkan nilai-nilai dan
kepribadian sebagai bangsa. Pengaruh arus budaya negatif bisa dari media massa,
baik cetak, elektronik maupun
cyber journalism. Ketika kita ingin
membangun kepribadian dan karakter bangsa, negara justru kurang mampu
melindungi bangsa dari serbuan budaya negatif. Ketiga, miskinnya keteladanan.
Keteladanan pemimpin dan pejabat publik harus diakui sangat kurang. Kita ingin menjadikan peserta
didik memiliki karakter kejujuran, tetapi kurang panutan dari para pemimpinnya. Dunia ideal yang ditanamkan peserta
didik di bangku pendidikan ternyata berbanding terbalik dengan dunia luar yang
penuh dengan contoh-contoh perilaku kurang positif. Kita ingin membentuk karakter
anak-anak bangsa yang pekerja keras, ulet, dan mencintai proses, namun dunia
luar kerapkali menampakkan mudahnya orang-orang mencapai keberhasilan dengan
melakukan jalan pintas. Keteladanan kadang juga tidak didapatkan peserta didik dari gurunya di sekolah.
Keempat, kurang optimalnya pendidikan
dalam keluarga. Disadari atau tidak, orangtua cenderung kurang menyadari
perannya sebagai penanggungjawab pendidikan dalam keluarga. Fungsi keluarga direduksi
sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status sosial semata, sehingga lemah dalam pembinaan dan
pembangunan kehidupan anak (Deni
Al-Asy’ari: 2007). Orangtua kerapkali merasa tidak memiliki tanggung jawab untuk membangun
kebiasaan positif kepada anak-anaknya. Padahal, pola pendidikan dalam keluarga
memiliki pengaruh besar bagi kepribadian anak. Orangtua harus menyadari bahwa
keluarga adalah ruang pendidikan. Orangtua juga harus memberikan teladan dan
membentuk budi pekerti, akhlak, dan karakter anak-anaknya.
Menurut penulis, pendidikan karakter yang
hanya dipahami sekadar pendidikan di sekolah cenderung akan menemukan
kegagalan. Pendidikan karakter semestinya menjadi agenda bersama yang juga
digerakkan oleh orangtua di rumah, guru di sekolah, pejabat pemerintah, elite
politik, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Tidak hanya tanggung jawab lembaga pendidikan.
Lembaga-lembaga agama, sosial,
politik, budaya, dan lembaga lainnya harus turut berperan dan bertanggung jawab
“mengarusutamakan” pendidikan karakter. Berhasil atau kurang berhasilkah
pendidikan karakter? Kita nantikan wajah Indonesia berpuluh tahun mendatang. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar