Ketika Istri Tak Melahirkan

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Frame MAJALAH POTRET Edisi 58 Tahun IX/2012

Hati perempuan mungkin sulit untuk dipahami. Namun, kita bisa mencoba untuk mengerti. Meskipun tidak selalu tepat memahami, usaha untuk itu merupakan perjuangan tersendiri. Dalam hal ini, ada kasus kehidupan rumah tangga yang kiranya menarik untuk laki-laki lebih berhati-hati.

            
Memang ada anjuran untuk menikahi perempuan yang memiliki kesuburan. Namun, urusan melahirkan atau tidak, laki-laki juga harus memahami bahwa hal itu di luar kekuasaan perempuan. Pasangan suami-istri masih diperkenankan berikhitiar “memupuk kesuburan agar tumbuh tanaman rindang yang indah dipandang mata”, tetapi relakah laki-laki jika istrinya sulit melahirkan?
             
Ada kalanya suami yang mandul, adakalanya pula istri yang mandul. Malah dimungkinkan kedua-duanya. Ketika belum memiliki anak sekian lama, laki-laki kerapkali menaruh prasangka kurang bijak yang justru membuat hati sang istri meratap. Kesetiaan laki-laki mungkin saja diuji. Ada keputusan sepihak yang kerapkali dilakukan laki-laki dengan menikahi perempuan lain tanpa peduli hati sang istri. Memang ada istri yang memberi izin suaminya untuk menikah lagi demi dapat melahirkan keturunan, namun tidak semua istri bisa menghendaki. Ada istri yang memang tidak rela suaminya menikah lagi meskipun sekian lama tak bisa melahirkan anak. Jika seperti itu, apakah harus dipandang sebagai dilema bagi laki-laki?
             
Tak bisa dimungkiri jika laki-laki cenderung aniaya. Laki-laki kerap memaksa istrinya untuk dapat diberi izin menikah lagi meskipun istri tak begitu rela. Fatalnya lagi, laki-laki menceraikan sang istri yang dianggap tidak dapat melahirkan. Sedalam-dalamnya hati perempuan—wallahu a’lam—tak terlalu rela suaminya menikah lagi. Fitrah rasa cemburu memang wajar, namun laki-laki perlu juga menahan diri. Jika sang istri tidak begitu rela, laki-laki kiranya tak menciptakan kecemburuan yang justru memporakporandakan hati perempuan. Pun, laki-laki kiranya tidak perlu memanaskan suasana rumah tangga hanya karena tak ada anak yang bisa dilahirkan.
           
Dalam hal ini, ada kisah apik dan menarik dari Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya. Ketika melahirkan Ishaq, Nabi Ibrahim dan Sarah telah renta. Begitu juga dengan Nabi Zakariya dan istrinya ketika melahirkan Yahya. Ibrahim pun menikahi Hajar karena izin dari Sarah. Dari Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya, ada pelajaran kesetiaan kepada istri yang tidak melahirkan sekian lama.
             
Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya terkait kelahiran anak itu dapat dibaca dalam lembaran Al-Qur’an. Ketika kedatangan tamu-tamu (baca: malaikat) yang mengabarkan tentang kelahiran seorang anak, Nabi Ibrahim pun merasa keheranan. “Berkata Ibrahim, “Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini?”(QS. Al-Hijr (15): 54). Ketika Nabi Ibrahim mendengar kabar itu, Sarah yang berada di balik tirai tersenyum, bahkan menganggap aneh. Kabar kelahiran anak juga disampaikan kepada Sarah. “Istrinya berkata, “Sungguh mengherankan, apakah aku akan melahirkan anak padahal aku adalah seorang perempuan tua, dan ini suamiku pun dalam keadaan yang sudah tua pula? Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang aneh.”(QS. Hud (11): 72-73). Nabi Zakariya juga keheranan bisa melahirkan anak. “Zakariya berkata, ‘Ya Tuhan-ku, bagaimana aku bisa mendapatkan anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul? Berfirman Allah, “Demikianlah, Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.”(QS. Ali ‘Imran (3): 40).
           
Ikhtiar untuk dapat melahirkan anak tetap perlu dilakukan. Doa yang memanjang merupakan salah satu ikhtiar yang perlu dilakukan. Nabi Ibrahim berdoa memohon keturunan, pun Nabi Zakariyya. Apakah yang dialami Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariyya bisa terjadi di zaman kini? Tak ada yang tidak mungkin, karena urusan kelahiran anak berada dalam kekuasaan Allah SWT. 
 
Ketika istri tidak kunjung melahirkan sekian lama, suami bisa menunggu dengan penuh kesabaran. Bukan tidak mungkin, suami-istri yang telah bertahun-tahun tak memiliki anak tiba-tiba melahirkan. Pastinya, ada pertimbangan-pertimbangan terkait soal ini. Sang istri pun tidak dilarang untuk mengizinkan suami menikah lagi. Boleh jadi suami dengan istri kedua bisa melahirkan anak, lantas istri pertama mengalami kejadian serupa sebagaimana kisah Hajar dan Sarah.
 
Yang jelas, persoalan ini bukan persoalan yang begitu saja persis dengan apa yang dialami Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariyya. Boleh jadi suami-istri sampai renta dan meninggal dunia tidak memiliki anak. Bahkan, suami dengan istri kedua tetap tidak memiliki anak. Tidak ada yang mengetahui kecuali Allah Yang Maha Kuasa. “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.”(QS. Asy-Syura (42): 49-50).
 
Mungkin saja bagi laki-laki menjadi sebuah dilema apabila istri tidak bisa melahirkan. Menurut penulis, dilema atau bukan dilema hanyalah persoalan sudut pandang. Yang penulis tekankan, ketika istri tidak bisa melahirkan atau tak melahirkan sekian lama, laki-laki harus belajar menghargai. Persoalan tidak memiliki anak atau istri yang sulit melahirkan tak perlu membarakan rumah tangga dalam kemelut tak terperikan.

Memiliki anak memang dambaan, bahkan dianjurkan. Namun, dalam kasus sulitnya memiliki anak, ada tugas utama bagi laki-laki untuk menjaga hati perempuan yang menjadi istrinya. Dalam kasus seperti ini, membahagiakan sang istri justru menjadi sebuah kewajiban. Memaksakan memiliki keturunan yang justru kerapkali merusak kehidupan rumah tangga dan membuat hati sang istri merana adalah sebentuk kejahatan. Itu menurut penulis. Wallahu a’lam.

0 komentar: