Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN,
Sabtu, 27 Oktober 2012
Suasana batin yang menghinggapi kaum muda pada tahun 1928 silam adalah
suasana batin rakyat. Ketertindasan akibat kekuasaan kolonial ketika itu begitu
menyengsarakan penduduk di negeri ini.
Banyak rakyat menderita, tidak kuasa sekadar mendapatkan ruang hidup sebagai
manusia yang merdeka. Atas kenyataan yang terjadi, kaum muda tidak tinggal diam
dan berusaha merefleksikan perjuangan sebelumnya. Suasana batin rakyat adalah
suasana batin kaum muda, sehingga muncullah inisiatif menggelar Kongres Pemuda
II di Jakarta (dulu Batavia), 27-28 Oktober 1928.
Sebelum Kongres Pemuda II, kaum muda pun sudah bertekad untuk mencari
jalan keluar dari cengkeraman imperalisme dan kolonialisme penjajah lewat
Kongres Pemuda I, 20 April-2 Mei 1926. Namun, takdir sejarah menghendaki tahun
1928 sebagai momentum lahirnya wajah Indonesia secara lebih nyata. Refleksi
atas perjuangan mengusir penjajah yang terkotak-kotak sebelumnya menyadarkan
kaum muda untuk menyatukan batin antarberbagai pergerakan dari barat hingga
timur Indonesia.
Berbagai wakil organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen
Bond, Jong Islamieten Bond, dan sebagainya menggelar rapat
intensif selama dua hari itu. Dalam Kongres Pemuda II juga hadir pemuda
Tionghoa sebagai pengamat, yakni Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio
Djien Kwie. Ada Kwee Thian
Hong sebagai seorang wakil dari Jong
Sumatranen Bond. Rapat
pada hari pertama berlangsung di Gedung Katholieke
Jongenkingen Bond (KJB). Dalam sambutannya, Soegondo Djojopoespito sebagai
ketua berharap kongres tersebut dapat memperkuat semangat persatuan dalam
sanubari para pemuda.
Pada hari kedua, rapat berlangsung di Gedung Oost-Java Bioscoop. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya WR Soepratman. Batin
kaum muda yang merupakan representasi dari kondisi batin rakyat akhirnya
menjadi kekuatan dahsyat dengan sumpah setianya; satu tumpah darah, satu
bangsa, dan menjunjung bahasa persatuan: Indonesia. Sumpah setia sebagai hasil
dari Kongres Pemuda II itu populer disebut dengan Sumpah Pemuda.
Kini, di tahun 2012, kita memperingati peristiwa bersejarah itu dalam
usianya yang ke-84 tahun. Sumpah Pemuda yang terus diperingati harapannya tidak
sekadar membangkitkan romantisme semata. Dalam hal ini, seperti dahulu kaum
muda berhimpun ingin menciptakan Indonesia yang bangun jiwanya dan bangun
badannya, kini pun kaum muda perlu memiliki ruh yang sama. Jika dahulu
keterikatan kaum muda bertujuan mengenyahkan kolonialisme penjajah dari tanah
persada, kaum muda saat ini juga dituntut berperan sesuai konteks zamannya.
Pentingnya kesadaran kaum muda sebagai pilar kebangunan bangsa tentu saja
perlu ditumbuhkan. Kesadaran bahwa kaum muda saat ini akan menentukan wajah
Indonesia di kemudian hari. Siapa pun telah mengerti jika masa depan akan
terdiri dari orang-orang yang hari ini menjadi kaum muda. Dengan kata lain,
bagaimana Indonesia di masa depan adalah bagaimana kaum muda berpikir saat ini
(Fahri Hamzah: 2007). Kaum muda memang dituntut menyadari peran dan tanggung
jawabnya memajukan negeri yang dipijaknya.
Kaum muda yang menggagas Sumpah Pemuda 1928 pada 84 tahun silam pastinya
merupakan kaum intelektual yang termasuk kelas menengah. Sebagai kaum terdidik,
mereka merasa terpanggil nurani dan jiwanya terhadap kenyataan negeri yang
semakin mencekam akibat penjajahan. Suasana batin mereka menyatu dengan suasana
batin rakyat yang tertindas.
Pendidikan kaum muda ketika itu salah satunya akibat dari kebijakan
Politik Etis Hindia Belanda meskipun secara tak kasat mata juga dimaksudkan
untuk mendukung eksitensi kekuasaan penjajah. Namun, (sebagian) kaum muda
intelektual saat itu tak begitu saja mudah disetir sesuai selera Belanda. Di
antara mereka ada yang masih peduli dan merasa sebagai bagian dari “nyawa”
Indonesia. Konteks pendidikan inilah yang menopang kesadaran kaum muda bahwa
pergantian kekuasaan harus terjadi, harus ada kesadaran untuk merebut kekuasaan
dari tangan kolonial. “Traktat” Batavia 28 Oktober 1928, cukup dinilai
berangkat dari kajian akademis kaum muda yang matang. Konsep berbangsa satu,
tanah air satu, dan bahasa satu adalah konsep negara yang membutuhkan wilayah,
penduduk, dan bahasa (Safari Daud: 2006).
Tentu saja sebagian di antara kaum muda terdidik saat itu tidak semuanya
mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa. Ada di antara mereka yang justru
menjadi bagian dari kekuasaan penjajah. Suasana batin rakyat yang penuh
penderitaan tidak menjadi suasana batin mereka. Mereka menjadi priyayi-priyayi
baru dan mengisi kelas-kelas sosial menengah baru. Sedangkan tujuan mengabdikan
diri untuk perjuangan kemerdekaan, mereka cenderung menutup mata. Di situ,
proses langgengnya kolonialisme juga ditentukan secara intensif oleh kaum
intelektual yang sudah berkorporasi dengan kekuasaan kolonial (Ismatillah A
Nu’ad: 2008).
Karena itu, dalam mengaktualisasikan spirit Sumpah Pemuda di era kini,
kaum muda perlu terpanggil melakukan pengabdian dan menjadi agen transformasi
sosial. Tampilnya kaum muda yang menyemarakkan panggung kekuasaan di negeri ini
setidaknya layak diapresiasi. Namun demikian, tujuan kaum muda itu selayaknya
perlu menjadi perenungan. Jikasanya tampilnya kaum muda sekadar meraih
kekuasaan, maka harapan perubahan di republik ini sekadar impian di negeri
dongeng. Memang pilihan ada di tangan kaum muda, apakah menjadikan kekuasaan
sebagai—meminjam Alfan Alfian (2007)—tujuan utama (ultimate goal) ataukah tujuan antara (intermediate goal).
Harapannya, kaum muda menjadikan kekuasaan sebagai intermediate goal. Tujuan utama kaum muda dalam ranah kekuasaan lebih
jauh lagi, yakni menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara. Atau sebagaimana amanat konstitusi, kekuasaan digunakan untuk mampu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Peran kaum muda tentu saja tidak hanya di ranah kekuasaan pemerintahan,
tetapi juga di ranah-ranah lainnya dalam lingkup kehidupan masyarakat. Dengan
semangat Sumpah Pemuda 1928, kaum muda saat ini perlu menyatupadu dalam batin
rakyat yang masih kekurangan dan hidup dalam keterhimpitan. Kolonialisme dan
imperialisme penjajah secara fisik sudah berlalu di negeri ini, tetapi kemiskinan
adalah musuh bersama yang mesti dienyahkan. Keterbelakangan dan kebodohan harus
segera diatasi demi terwujudnya Indonesia yang bermartabat. Kondisi batin
rakyat yang terpuruk dalam ketidakberdayaan selayaknya menjadi batin kaum muda
untuk kemudian bergerak menuntaskan perubahan di negeri ini ke arah lebih maju
dan positif.
Pertanyaannya, apakah suasana batin kaum muda saat ini seperti suasana
batin yang dirasakan rakyat? Jika tidak, kaum muda jangan pernah berhasrat
memimpin negeri ini! Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar