Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Suara Mahasiswa REPUBLIKA
DIY-JATENG, Selasa, 25 September 2012
Artinya, pihak keluarga
selayaknya juga melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung
negatif. Jika anak tidak memiliki akhlak mulia, maka pihak keluarga tak bisa
abai terhadap kondisi anak. Memang
harus diakui apabila persoalan anak di zaman kini lebih kompleks. Kemajuan dan perkembangan teknologi
informasi sedikit banyak memberikan
pengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Anak tak sekadar menjadikan guru di
kelas sebagai sumber belajar, tetapi
juga setiap teknologi informasi. Pengaruh dari teknologi informasi bisa positif
ataupun negatif.
Adanya kondisi tersebut,
penguatan peran keluarga tentu tak bisa ditawar-tawar lagi. Tak hanya pihak
sekolah, pihak keluarga sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional mutlak mengambil peran. Selain pendidikan formal, ada pendidikan
yang sifatnya nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi
pendidikan informal juga memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan potensi
anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
dan berakhlak mulia. Sebagai tempat pertama anak-anak hidup dan berinteraksi,
sebagaimana pernah dituturkan Ki Hajar Dewantara, keluarga memiliki peranan
penting dalam proses tumbuh kembang anak, terutama pada masa-masa awal atau di mana anak dengan mudah menerima rangsang atau pengaruh dari lingkungan.
Pendidikan anak memang sangat penting, lebih khusus lagi pada usia dini. Pada
usia antara 0-6 tahun itu, menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami
tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara,
perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan
kreativitas, dan perkembangan moral.
Disadari
atau tidak, penyerahan sepenuhnya pendidikan anak kepada pihak sekolah tampak menggejala dewasa ini. Lemahnya peran
keluarga dalam membina dan membangun kehidupan anak yang lebih baik, papar Deni Al-Asy’ari (2007), tak terlepas dari fungsi
keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi, materialistik, seks, dan status
sosial semata. Orangtua memperhatikan pendidikan anak sekadar menanyakan
prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif. Asalkan bisa membiayai
anaknya menempuh bangku sekolah, orangtua sudah merasa bangga dan tugasnya
selesai. Padahal, pendidikan di sekolah tak bisa mengembangkan kualitas anak
seutuhnya tanpa kerja sama dengan pihak keluarga.
Pentingnya pendidikan dalam keluarga seyogianya
menyadarkan orangtua. Perilaku kurang mulia anak seringkali akibat kondisi
kehidupan keluarga yang kurang stabil dan kondusif. Di era kini, orangtua
seringkali lebih disibukkan urusan mencari uang, sehingga melupakan
jalinan emosi dan komunikasi dengan anak di rumah. Padahal, sentuhan emosi dan
komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orangtua
yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Pihak keluarga sudah
saatnya menjadi tempat berlari bagi anak ketika menghadapi permasalahan-permasalahan
dalam kehidupannya.
Pungkasnya, sudah saatnya pihak keluarga mengambil peran dalam mendidik anak-anaknya. Mendidik anak tidak hanya tanggung jawab
pihak sekolah, tetapi juga tanggung jawab pihak keluarga. Anak dalam kehidupan keluarga
perlu ditanamkan nilai-nilai
mulia agar mampu menghadapi
realitas kehidupan dengan kepemilikan kepribadian yang tangguh. Anak dalam
kehidupan keluarga merupakan amanah yang harus dipelihara dan dijaga agar
memiliki perkembangan emosi, sosial, dan moral yang baik. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar