Pernahkah mendengar ada anak tidak melanjutkan jenjang pendidikan formal? Kita tidak perlu data statistik untuk membuktikan hal tersebut. Di DIY, fakta tersebut masih juga ada. Kalau kita berkunjung ke daerah Wonosari, misalnya, kita bisa menyaksikan ada anak yang hanya tamatan SMP. Bahkan, ada anak yang tak tuntas tamat SMP, namun telah bekerja mencari nafkah. Tidak hanya di DIY, di daerah lain juga terjadi. Malah ada yang selesai lulus SD langsung dinikahkan dan hidup berumah tangga.
 
Menyaksikan fakta tersebut, kita patut prihatin. Memang uang masih bisa dicari meskipun hanya tamat SMP atau tidak sampai SMP. Pekerjaan apapun bisa dilakoni. Kini menjadi pembantu rumah tangga pun relatif bisa menjamin hidup mapan. Maka, ada petani-petani di desa yang menjadikan anak perempuannya sebagai aset ekonomi. Namun, persoalannya bukan terletak pada urusan bisa atau tidak bisa mencari nafkah. Lebih dari itu, persoalannya adalah pada kepemilikan paradigma, konsep, cara pandang, dan pemikiran terhadap kehidupan dan masa depan. Asumsinya, semakin matang pendidikan seseorang, semakin matang pula pola pikir, konsep hidup, ilmu, wawasan, dan pengetahuannya. Efeknya juga pada generasi mendatang. Orangtua yang hanya tamatan SMP akan berbeda dengan tamatan SMA atau tamatan perguruan tinggi dalam mendidik anak. Bagaimana kita memandang fenomena ini?
 
Ditinjau dari konstitusi, pendidikan menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Adanya warga negara yang tak bisa mengakses jenjang pendidikan secara layak bisa disebut sebagai pengkhianatan terhadap janji kemerdekaan. Para pendiri bangsa ini jelas mengakui pentingnya pendidikan dalam upaya membawa bangsa ini untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya. Pendidikan menjadi pilar pembangunan manusia dan peningkatan kesejahteraan. Setiap warga negara bisa menempuh pendidikan secara baik merupakan idealisme para pendiri bangsa,
 
Dari kenyataan di negeri ini, kita memang mengakui bahwa pemerataan pendidikan masih menjadi pekerjaan pelik. Indonesia masih dihadapkan pada kondisi tidak teraksesnya dunia pendidikan bagi semua anak bangsa. Belum lagi dengan persoalan tidak meratanya kualitas guru atau tidak memadainya sarana prasarana pendidikan di seluruh daerah. Padahal, sebagai satu bangsa, pendidikan yang berkualitas harus dienyam oleh seluruh warga negara.
 
Dalam hal ini, kita seyogianya bisa berpikir bening dan jernih. Pandangan kita selayaknya diarahkan pada keindonesiaan secara lebih luas. Artinya, setiap anak bangsa harus mendapatkan pendidikan secara layak di negeri ini tanpa terkecuali. Baik di kota maupun di desa, semua anak bangsa tidak boleh ada yang termarjinalkan dalam akses pendidikan. Memang ada beberapa anak bangsa dapat membawa nama Indonesia ke kancah dunia dengan memenangi berbagai ajang olimpiade internasional, namun prestasi tersebut harus diakui belum bisa menggambarkan kualitas anak Indonesia secara keseluruhan. Memang ada anak-anak bangsa ini yang mampu membangun masa depannya, namun kenyataan suramnya masa depan juga dihadapi anak-anak bangsa lainnya. Dengan pendidikan, ada warga negara yang mampu membangun kesejahteraan hidupnya, namun ada pula yang tidak berdaya dalam keterbelakangan.
 
Cara pandang keindonesiaan juga meniscayakan kualitas pendidikan yang merata di setiap daerah. Jika ada daerah yang maju dalam bidang pendidikan, sesungguhnya hal tersebut bukan sebuah kebanggaan sebagai bangsa apabila di daerah-daerah lain justru rendah kualitas pendidikannya. Berdirinya bangunan-bangunan sekolah yang megah dengan segala fasilitasnya belumlah mencerminkan kualitas pendidikan bangsa di tengah masih adanya bangunan sekolah yang tak layak dengan minimnya fasilitas.
 
Maka, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus memikirkan pendidikan secara lebih nyata. Amanat konstitusi yang menggariskan anggaran pendidikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) perlu ditaati. Di sisi lain, prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pembiayaan pendidikan harus diperhatikan. Anggaran untuk pendidikan harus benar-benar meningkatkan kualitas pendidikan yang sekaligus akan meningkatkan kualitas anak-anak bangsa.
 
Yang perlu garisbawahi, anggaran sebesar 20% sebenarnya bersifat relatif karena kebutuhan pembiayaan pendidikan di setiap daerah di negeri ini berbeda-beda. Dengan konsep otonomi daerah, pemerintah daerah harus memiliki komitmen tinggi memperhatikan dan membangun pendidikan di daerahnya. Salah satu bentuk komitmen itu adalah dimilikinya konsep pendidikan yang jelas dan visioner, yang terejawantahkan dalam aksi nyata. Setiap pemimpin daerah seyogianya menyadari bahwa pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan turut menentukan dan mempengaruhi baik dan buruknya masa depan daerah. 
 
Menurut penulis, pemerintah daerah selayaknya perlu juga meninjau ulang konsep pembangunan yang kini cenderung terjadi. Dalam pembangunan daerah, sesungguhnya kita tak membutuhkan berlimpahnya pusat perbelanjaan, misalnya, yang justru mengundang konsumerisme masyarakat. Justru pembangunan perpustakaan, pusat belajar masyarakat, dan sarana prasarana pendidikan lainnya perlu diutamakan. Anak putus sekolah yang seringkali mencuat perlu dipahami sebagai kelalaian pemerintah daerah. Tidak melulu harus mengkambinghitamkan pemerintah pusat, kondisi tersebut justru mencerminkan kurang beresnya pemerintah daerah mengurus pendidikan karena kejadian anak putus sekolah terjadi di daerah yang dikelolanya.  
 
Di sisi lain, masyarakat tidak boleh tinggal diam. Masyarakat kelas menengah ke atas perlu menunjukkan rasa senasib sepenanggungan sebagai satu bangsa dengan menopang pendidikan masyarakat yang lemah. Anak-anak jalanan, anak-anak yatim piatu, kaum dhuafa, anak-anak difabel, dan warga negara lainnya yang memiliki keterbatasan perlu dibantu agar mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan diri dan potensinya. Tanggung jawab sosial dari perusahaan-perusahan juga diperlukan dalam membangun pendidikan. 
 
Tak kalah penting, pendidikan sebagai pilar penting kemajuaan bangsa hendaknya tidak sekadar dipahami pada jenjang pendidikan formal. Pendidikan nonformal dan informal perlu juga dikuatkan. Pendidikan untuk masyarakat seyogianya diperhatikan dan digalakkan. Sesungguhnya pendidikan itu sepanjang hayat dan tak mengenal batas usia. Pedagang, ibu rumah tangga, nelayan, pembantu rumah tangga, buruh, dan sebagainya harus terus mendapatkan pendidikan di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di tengah zaman yang terus bergerak, pendidikan menjadi kunci penting agar setiap warga negara dapat terus memberdayakan diri dan membangun kehidupannya. 
 
Pendidikan untuk semua (education for all) memang masih menjadi pekerjaan besar membangun negara ini. Namun, demi kemajuan negeri ini, kita wajib tuntaskan pekerjaan besar tersebut. Wallahu a’lam.