Dimuat di Opini SUARA KARYA, Selasa, 17 Juli 2012
Pada dasarnya, soal keistimewaan
Yogyakarta tertera dalam UU No. 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa
Yogyakarta. UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah mempertahankan
keistimewaan itu berdasarkan asas lex
speciale derogat lex generale. UUD 1945 pun mengakui adanya daerah khusus
atau daerah istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun,
pembahasan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY seolah-olah rumit
terkait pengisian jabatan kepala daerah.
Dengan acuan
masa jabatan lima tahun, posisi Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX
sebagai gubernur-wakil gubernur saat ini sebenarnya berakhir pada Oktober 2008.
Apalagi Sri Sultan HB X dan Paku Alam IX telah mulai menjabat sejak 1998.
Artinya, menurut konstitusi, masa jabatan selesai karena tidak diperbolehkan
menjabat lebih dari dua periode. Persoalan pun muncul dan terus berkembang.
Karena RUUK DIY tidak kunjung usai dibahas, Mendagri Mardiyanto yang menjabat saat
itu memutuskan perpanjangan masa jabatan selama tiga tahun sampai Oktober 2011.
RUUK DIY memang menjadi sumber kepastian soal jabatan kepala daerah, apakah
posisi itu tetap dijabat Sri Sultan dan Paku Alam atau lewat mekanisme
pemilihan kepala daerah yang umumnya diterapkan di Indonesia.
Mungkin ada
benarnya polemik lebih disebabkan konflik kepentingan mengingat posisi kepala
daerah bisa menjadi lahan perebutan kekuasaan. Sebelumnya Sri Sultan HB IX dan
Paku Alam VIII yang menjadi penguasa Yogyakarta juga berposisi sebagai kepala
daerah. Soekarno, presiden RI pertama, mengakui legitimasi mereka. Ketika Sri
Sultan HB IX wafat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menempati posisi gubernur.
Posisi gubernur tak serta-merta ditempati Sri Sultan HB X yang menggantikan Sri
Sultan HB IX sebagai raja di Kasultanan Yogyakarta. Posisi gubernur mulai
diduduki Sri Sultan HB X sejak tahun 1998 yang pada saat itu Paku Alam VIII
meninggal dunia. Pada tahun itu, Paku Alam IX juga didaulat sebagai wakil
gubernur.
Fakta sejarah
menunjukkan keistimewaan Yogyakarta bukan pemberian negara. Di zaman Indonesia
belum merdeka, Yogyakarta sebagai kerajaan yang merdeka telah memiliki otoritas
tersendiri. Berdasarkan hukum internasional, Sri Sultan HB IX dan Paku Alam
VIII bisa saja membentuk negara Yogyakarta setelah hengkangnya Belanda. Kenyataannya,
mereka menyatakan bersatu dengan NKRI.
Merujuk pada UUD
1945 yang ditetapkan 18 Agustus 1945, sebuah daerah dinyatakan istimewa jika
mempunyai apa yang disebut “susunan asli”. Susunan asli terkait dengan sistem
pemerintahan yang telah ada sebelum daerah itu menjadi bagian dari RI. Karena
pertimbangan itulah yang mungkin membuat Presiden Soekarno menyerahkan Piagam
Kedudukan kepada Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus
1945. Pemerintah pusat telah memandang Kasultanan dan Pakualaman sebagai dua
kerajaan merdeka di wilayah RI. Dalam rangka menjalankan pemerintahan, Sultan
HB IX dan Sri Paku Alam VIII secara sendiri-sendiri mengeluarkan Amanat 5
September 1945. Dengan mengeluarkan amanat ini, dua raja tersebut menegaskan
bahwa daerah kedua kerajaan itu adalah daerah istimewa. Jadi, ada dua daerah
istimewa di Yogyakarta, yakni Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dan Negeri
Pakualaman. Selanjutnya, Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII membuat Amanat 30
Oktober 1945 yang ditandatangani bersama. Amanat itu demi menegaskan Yogyakarta
merupakan satu daerah istimewa yang diberi nama Daerah Istimewa Negara Republik
Indonesia dengan Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII sebagai kepala daerahnya
(Haryadi Baskoro&Sudomo Sunaryo, 2010).
Yogyakarta sebagai
sebuah kerajaan mungkin dilihat sebagai monarki. Namun, pemerintahan di
Yogyakarta jauh dari apa yang dalam istilah politik dinamakan monarki absolut.
Sri Sultan HB IX ketika berkuasa justru jauh dari watak feodal. Sejarah
mencatat, jauh sebelum Indonesia mengenal demokrasi, reformasi birokrasi dan
demokratisasi telah dijalankan di Yogyakarta. Salah satu contoh yang bisa
disebut adalah penghapusan lembaga Pepatih Dalem oleh Sri Sultan HB IX yang
sudah ada sejak Sri Sultan HB I pada 14 Juli 1945 demi dapat berkomunikasi
langsung dengan rakyat. Selain itu, sebuah lembaga semacam perwakilan rakyat di
tingkat kelurahan dibentuk Sri Sultan HB IX sejak 6 Desember 1945.
Sampai detik
ini, pembahasan terkait posisi kepala daerah Yogyakarta belum ada titik temu.
Dilihat lebih jauh, posisi walikota dan bupati di DIY digunakan pemilihan
langsung sejak era reformasi. Namun, posisi gubernur dan wakil gubernur di mata
masyarakat Yogyakarta memiliki makna lain. Maka, persoalan perlu diselesaikan
tanpa melupakan akar historis dan landasan yuridis keistimewaan Yogyakarta. Tak
perlu mempertentangkan sistem demokrasi dengan monarki.
Memahami
demokrasi memang dituntut lebih subtansial. Tentu saja hakikat demokrasi pada
dasarnya bukanlah sekadar pemimpin harus dipilih oleh rakyat dengan banyaknya
perolehan suara. Demokrasi dituntut dapat memberi jalan terang bagi
kemaslahatan rakyat. Konsep “Tahta untuk
Rakyat” telah menjadi bagian inheren dalam jiwa Sri Sultan HB IX, bahkan
Sri Sultan HB X yang bertahta saat ini. “Buat
apa sebuah tahta dan menjadi Sultan apabila tidak memberi manfaat bagi
masyarakat,“ kata Sri Sultan HB IX. Jika seorang pemimpin harus dipilih
rakyat, maka terlalu sempit memahami demokrasi. Di DKI Jakarta, posisi Walikota
malah dipilih Gubernur.
Dalam mencari
titik temu soal pemimpin daerahnya, aspirasi masyarakat Yogyakarta tentu perlu
ditampung. Masyarakat Yogyakarta lebih berhak menentukan sejarah keistimewaan
daerahnya. Di tengah gonjang-ganjing di Yogyakarta saat ini tak perlu
ditakutkan berpisah dari NKRI, karena sejarah mencatat Yogyakarta tetap
selamanya milik republik. RUU Keistimewaan DIY yang belum kelar dirumuskan
hingga kini akan lebih baik tak memusingkan persoalan posisi kepala daerah,
tapi menjaga agar visi “Tahta untuk Rakyat” terus dijalankan di
Yogyakarta. Begitu.
HENDRA SUGIANTORO
Warga negara Indonesia, tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar