Sekolah, Membangun Etos Belajar

Dimuat di Opini KORAN MERAPI, Jum'at, 22 Juni 2012

Kelulusan siswa sekolah tak menghentikan perjuangan. Nasib kelanjutan studi mengundang gairah memburu sekolah yang dianggap terbaik. Resah pun kadangkala muncul karena kemungkinan tersisih dari sekolah yang diinginkan. Nilai dalam angka yang menegaskan kelulusan bisa dikatakan menentukan nasib. Perburuan sekolah tingkat SMP/MTs dan SMA/MA/SMK akan menjadi wajah penuh haru biru. Ada perasaan lega apabila diterima di sekolah yang diidamkan. Jika tidak, kecewa tentu manusiawi. Namun, harapan masih ada. Masih ada sekolah lain yang bisa dituju demi meneruskan pendidikan dalam ranah formal. 

Memang tak bisa dimungkiri, menempuh pendidikan di sekolah telah menjadi kemestian. Memasuki sekolah seolah-olah menjadi jejak hidup yang niscaya. Hal ini diperkuat oleh negara yang menganjurkan warga negaranya menempuh jenjang pendidikan formal. Di Indonesia, program wajib belajar 9 tahun (SD-SMP/MTs) telah bertahun-tahun diupayakan. Kini wajib belajar 12 tahun (SD-SMA/MA/SMK) pun coba digalakkan. Secara historis, istilah wajib belajar telah muncul di era Orde Baru. Awalnya adalah program wajib belajar 6 tahun yang dicanangkan pada 2 Mei 1984. Seluruh anak usia 7-12 tahun diusahakan memperoleh kesempatan yang sama dan adil untuk menempuh jenjang pendidikan dasar. Pada 2 Mei 1994 dicanangkan program wajib belajar 9 tahun (Palupi Panca Astuti: 2008). 

Meskipun istilah wajib belajar dan wajib sekolah memiliki makna berlainan, namun faktanya kedua istilah itu berkaitan erat. Wajib belajar yang dimaksud negara artinya cenderung wajib sekolah. Pada dasarnya, belajar itu tak terbatas di sekolah alias bisa dilakukan di mana pun. Adapun sekolah hanya sebagai salah satu ruang untuk menyelenggarakan proses belajar itu. Menurut penulis, makna tepat dari wajib belajar 9 tahun maupun 12 tahun adalah terlaksananya wajib belajar di sekolah. Siswa di sekolah bisa menjalankan wajib belajarnya.
 
Pada titik ini, persoalan ternyata cenderung rumit. Nilai berwujud angka sebagaimana diutarakan di atas bisa dikatakan menentukan nasib, baik kelulusan maupun kelanjutan studi. Ujian menjadi jalan mendapatkan nilai-nilai dalam ijazah. Kecenderungan yang fatal pun terjadi manakala orientasi sekolah sekadar mengejar angka-angka. Diakui atau tidak, dunia pendidikan (formal) kini telah terjebak pada upaya pengejaran hasil dan mengesampingkan proses yang merupakan inti dari penyelenggaraan pendidikan (M. Imam Zamroni: 2007). Sekolah hanya menghadirkan kisah siswa-siswa yang mencurahkan daya demi angka-angka. 
 
Memandang hal tersebut, kita selayaknya mulai melakukan perubahan paradigma. Sejatinya sekolah adalah ruang belajar untuk mengembangkan potensi dan kemampuan siswa. Sekolah menjadi ruang untuk mengasah kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual agar siswa mampu menghadapi hidup di masa kini dan di masa mendatang. Dengan berada di sekolah, siswa menikmati proses belajarnya untuk mendapatkan ilmu, wawasan, pengetahuan, kecakapan, dan keterampilan yang berguna bagi eksistensi hidupnya. Potensi, kecerdasan, dan kemampuan siswa harus berkembang dan teraktualisasikan secara baik berkat proses belajarnya di sekolah. Ukuran keberhasilan bukan perolehan angka-angka kuantitatif.
             
Dalam hal ini, kita berharap agar sekolah menjelma ruang belajar yang nyaman. Yang utama dilakukan guru di sekolah bukanlah menjejalkan materi pelajaran sebanyak-banyaknya. Mengajarkan materi pelajaran sesuai kurikulum memang tugas guru, namun lebih penting dari itu adalah membangun dan menumbuhkan motivasi belajar siswa. Ajarilah siswa untuk mencintai proses belajar, bukan mencintai angka-angka dalam lembar ijazah. Tanamkanlah pandangan dan kesadaran kepada siswa akan pentingnya belajar sebagai keniscayaan hidup. Sekolah harus membangun etos belajar. Etos yang berasal dari bahasa Yunani dapat diartikan sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
            Dengan kepemilikan etos belajar, siswa akan belajar sebagai sebuah kebutuhan. Tanpa “ditakut-takuti” dengan batas nilai kelulusan, siswa telah memiliki tradisi belajar. Sekolah perlu menjadikan siswa tak seperti paku. Siswa seperti paku akan belajar setelah dipukul dengan palu alias cenderung pasif. Dalam membaca buku-buku pelajaran, siswa takkan membaca tanpa diminta atau diperintah (Marjohan: 2009). Seperti paku, siswa tak mampu mengasah sendiri ketajamannya (baca: pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan kecakapan hidup lainnya) dan akhirnya berkarat (tak mampu memberikan kontribusi positif dalam kehidupan).
             
Sekali lagi, menurut penulis, menguatkan etos belajar di kalangan siswa merupakan tugas penting yang perlu dilakukan. Siswa yang memiliki etos belajar tak sekadar mempelajari apa yang diberikan di sekolah, tetapi juga akan memperkaya dan memperdalam ilmu, pengetahuan, wawasan, keterampilan, dan kecakapan lain di luar sekolah. Siswa memiliki rasa ingin tahu yang besar untuk belajar berbagai hal. Motivasi internal dalam dirinya untuk senantiasa belajar memang begitu kuat. Siswa belajar dengan penuh kesadaran.
            
Di samping itu, guru perlu menyadari bahwa setiap siswa memiliki karakteristik tersendiri. Kemampuan belajar setiap siswa berbeda-beda. Siswa perlu diarahkan oleh guru untuk memahami kekuatan dan kelemahannya dalam belajar. Mengarahkan dan membimbing, bukan memaksa. Apapun capaian belajar setiap siswa, guru harus tetap menghargai tanpa lupa memberikan bimbingan sebaik-baiknya. Tak lupa pula agar guru memiliki etos belajar, sehingga memberikan keteladanan.

Dengan etos belajar itu, siswa pun menyadari bahwa belajar tak hanya di sekolah, tetapi di mana pun. Belajar tetap dilakukan meskipun tak lagi menyandang status sebagai siswa. Belajar itu untuk mengembangkan diri. Dengan belajar, ilmu, wawasan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, perilaku, keterampilan, kecakapan, dan hal lainnya akan diperoleh agar tak “tamat” hidup. Siswa tahu pasti! Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pegiat Transform Institute, tinggal di Yogyakarta
 

0 komentar: