HAM di Tengah Kemunafikan Internasional

Dimuat di Resensi Buku SUARA MERDEKA, Minggu, 3 Juni 2012

Judul Buku: HAM: Politik, Hukum&Kemunafikan Internasional Penulis: Hamid Awaludin Penerbit: Kompas, Jakarta Cetakan: I, Mei 2012 Tebal: xviii+286 halaman

Suatu ketika, Hamid Awaludin dalam kapasitasnya sebagai Menteri Hukum dan HAM (2004-2007), didatangi oleh sekelompok orang yang mengklaim ahli dan pemerhati hak asasi manusia (HAM) sedunia. Mereka datang dari Eropa, termasuk dari Amerika Serikat (AS). Mereka menentang masih diberlakukannya hukuman mati di Indonesia. “Itu tidak manusiawi. Hanya bangsa-bangsa yang hidup di masa silam yang mengenal dan memberlakukan hukuman mati,” begitulah mereka berkata. Apa respons Hamid Awaludin?
             
Dengan manggut-manggut mendengarkan sekelompok orang itu berkhotbah, Hamid Awaludin menjawab yang intinya, “Apakah Anda juga datang ke Gedung Putih di AS untuk mendesakkan hal yang serupa?”. Jawaban Hamid Awaludin pastinya ampuh untuk menonjok mereka. Disadari atau tidak, di sejumlah negara bagian AS, hukuman mati masih diberlakukan sejak zaman dulu hingga kini. Jumlah orang yang dieksekusi di AS pun lebih banyak dibandingkan yang pernah dieksekusi di Indonesia. “Ada baiknya kita akhiri, pembicaraan dan pertemuan ini. Kita akan lanjutkan lagi setelah Anda kembali dari AS,” kata Hamid Awaludin yang secara implisit mengusir sekelompok orang itu secara halus.
    
Kita tentu tidak menutup mata terkait adanya standar ganda yang diterapkan AS dan negara-negara sekutunya. AS yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi dan HAM justru kerapkali menciderai kemuliaan dan martabat manusia. Lewat buku ini, Hamid Awaludin membahas hal tersebut dalam bab khusus Kemunafikan Asasi Internasional. Tentu saja dunia tidak bisa ditipu bahwa AS dan negara-negara Barat acapkali bersikap munafik (hypocricy of the west) dalam praktik HAM. Selama kepentingan nasional mereka terpenuhi, mereka tak peduli apakah ada pelanggaran HAM atau tidak. Dengan alasan demokrasi dan HAM, negara-negara seperti Afghanistan, Irak, dan sebagainya tiba-tiba dibombardir AS dan sekutunya. Dampaknya ternyata tidak hanya penghancuran nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga masa depan negara yang diluluhlantakkan tersebut, baik secara sosial, ekonomi maupun aspek lainnya.
            
Kepentingan nasional AS dan Barat bisa mengalahkan HAM memiliki akar yang panjang. Lewat buku ini, Hamid Awaludin memberikan pemahaman terkait konsep realis dalam politik internasional. Pemikiran kaum realis berkembang sejak berakhirnya Perang Dunia II kendati akar pemikiran ini sebenarnya telah terbentang jauh ke belakang. Sebelum itu, aliran pemikiran yang dominan terutama sejak meletusnya Perang Dunia I adalah aliran Wilsonian—yang diidentikkan dengan label kaum idealis atau liberal. Bagi kaum realis, politik atau hubungan internasional ditentukan oleh pemeran utama yang bernama negara dengan agenda tunggal yang bernama kekuasaan dan pengaruh, baik sebagai tujuan maupun cara. Dengan itu semua, negara sebagai aktor utama selalu mengutamakan kepentingannya sendiri di atas kepentingan lainnya. 

Dalam konteks tersebut, AS dan Barat yang notabene adalah negara kuat bisa memainkan demokrasi, HAM, dan kebebasan sesuai dengan kepentingan nasionalnya. Karena ada kepentingan nasional di dalamnya, maka tidak heran apabila kita menyaksikan kelunakan AS dan sekutunya terhadap pelanggaran HAM dan pemerintahan tidak demokratis di beberapa wilayah di dunia. Bahkan, AS menjadi pelaku aktif pelanggaran HAM dengan senjata yang dimilikinya. Daftar dosa terkait pelanggaran HAM yang panjang sepanjang sejarah dunia boleh jadi yang membuat AS tak bersedia menandatangi Konvensi Internasional Tentang Mahkamah Pidana Internasional (Statuta Roma) (halaman 223-249).

Kemunafikan internasional jelas menjadi batu sandungan penegakan dan perlindungan HAM di dunia. Menurut Hamid Awaludin, hal itu perlu menjadi agenda dan pekerjaan HAM ke depan. Dunia tentu harus diarahkan pada tatanan yang berkeadilan. Setiap negara harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah alias tidak saling mengeksploitasi. 

Ikhtiar Hamid Awaludin membahas HAM dalam perspektif politik, hukum, bahkan sejarah lewat buku ini menarik dicermati. Secara formal, Deklarasi HAM Universal pada tahun 1948 menjadi dokumen tertulis pertama tentang HAM yang diterima semua bangsa. Meskipun sebelumnya telah banyak dokumen tentang HAM, seperti Magna Charta (Inggris, 1215), namun tak pernah disepakati secara universal. Sejak Deklarasi HAM Universal 1948 yang dirumuskan dalam sidang PBB itu, dunia terus bergerak untuk menegakkan HAM. Konvensi-konvesi terkait HAM terus dirumuskan sebagai ikhtiar memuliakan martabat manusia. Laju penegakan HAM ini tentu positif. HAM terus mendapatkan lahan subur dalam laju zaman dan berpenetrasi ke seluruh sendi kehidupan. 

Tentu saja, di masa mendatang masih banyak agenda HAM yang menuntut perhatian. Konflik-konflik komunal, perdagangan manusia, tuntutan keadilan terhadap pelanggaran HAM di masa lalu, masalah ekologis, praktik korupsi, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya merupakan tantangan penegakan HAM hari ini dan ke depan. Di tengah kemunafikan internasional, optimisme penegakan HAM harus terus dinyalakan. Benar kata Hamid Awaludin, kita tidak boleh berhenti sebelum mencapai tujuan: martabat manusia.(HENDRA SUGIANTORO).

0 komentar: