Dimuat di Opini SUARA KARYA, Senin, 11 Juni 2012
Menarik apa yang diutarakan Kartini
(1879-1904), “Sekolah-sekolah saja tidak
dapat memajukan masyarakat, tetapi juga keluarga di rumah harus turut bekerja.
Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu harus berasal”. Sekolah
sebagai lembaga pendidikan formal memang dimaksudkan untuk mendidik anak-anak bangsa
yang akhirnya berdampak pada kebangunan masyarakat, namun sulit berhasil
apabila tidak berjalan integral-komprehensif dengan melibatkan pihak keluarga.
Pesan Kartini itu layaklah
direnungkan di tengah karut-marutnya persoalan bangsa. Ada kecenderungan, sebagaimana disinyalir Azyumardi
Azra (2012), sekolah maupun guru diposisikan sebagai pihak yang
bertanggungjawab. Wacana dan ide terkait pendidikan karakter, pendidikan
antikorupsi, dan sejenisnya lebih diarahkan untuk digarap pihak sekolah. Hal
itu tentu perlu dikoreksi.
Dengan perkataan lain, apabila
banyak kasus kekerasan, penggunaan
obat-obatan terlarang, pelecehan
seksual, dan sebagainya
yang dilakukan oleh anak usia sekolah, anggapan bahwa sekolah tak mampu mendidik
siswanya tidak sepenuhnya tepat. Penyempitan
upaya pendidikan sekadar dalam lingkup penyekolahan (schooling), dan selanjutnya sistem pendidikan diartikan sistem
persekolahan belaka pernah pula dikoreksi Fuad Hassan (2004), karena pendidikan
dalam arti luas terjadi melalui tiga upaya utama, yakni pembiasaan,
pembelajaran, dan peneladanan. Secara prinsip, pihak keluargalah yang memiliki
tanggung jawab utama dalam pendidikan anak.
Dalam hal ini, pihak keluarga
selayaknya melakukan introspeksi terkait perilaku anak yang cenderung negatif. Dalam
pendidikan karakter, pendidikan antikorupsi, dan sejenisnya, pihak keluarga sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional tentu tidak bisa cuci tangan. Selain pendidikan formal, UU No. 20/2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga menjelaskan adanya
pendidikan nonformal dan informal. Pihak keluarga sebagai institusi pendidikan
informal perlu berikhtiar mendidik anak—sebagaimana tujuan pendidikan nasional
dalam UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas Bab II Pasal 3—agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggungjawab.
Maka,
orangtua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada pihak sekolah tidaklah tepat. Mungkin sikap dan perilaku
anak yang jauh dari tatanan nilai dan norma akibat lemahnya pendidikan dalam
keluarga. Deni Al-Asy’ari (2007) mensinyalir lemahnya peran keluarga ini tidak
terlepas dari fungsi keluarga yang direduksi sebatas fungsi reproduksi,
materialistik, seks, dan status sosial semata. Orangtua memperhatikan
pendidikan anak sekadar menanyakan prestasi belajar di sekolah yang sifatnya kuantitatif.
Asalkan bisa membiayai anaknya di bangku sekolah, orangtua sudah merasa bangga
dan tugasnya selesai. Padahal, tanpa kerja sama dengan pihak keluarga, pihak sekolah tak bisa mengembangkan kualitas anak
seutuhnya.
Hal yang perlu disadari,
karakter positif yang dimiliki anak tidaklah muncul seketika. Justru
pembentukan karakter positif anak perlu diawali sejak berusia dini, dan itu
otomatis di tangan orangtua. Menurut Elizabeth B Hurlock (1978), anak mengalami
tahapan perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan bicara,
perkembangan emosi, perkembangan sosial, perkembangan bermain, perkembangan
kreativitas, dan perkembangan moral pada usia sekitar 0-6 tahun. Ki Hajar
Dewantara pun pernah mengatakan bahwa keluarga sebagai tempat pertama anak-anak
hidup dan berinteraksi berperan penting dalam proses tumbuh kembang anak,
terutama pada masa-masa awal atau di mana anak dengan mudah menerima rangsang
atau pengaruh dari lingkungan.
Jadi,
pentingnya pendidikan dalam keluarga seyogianya menyadarkan orangtua.
Perilaku kurang mulia anak seringkali akibat kondisi kehidupan keluarga yang kurang kondusif. Di era kini,
orangtua seringkali lebih disibukkan urusan mencari materi, sehingga melupakan
jalinan emosi dan komunikasi dengan anak. Padahal, sentuhan emosi dan
komunikasi dapat menyebabkan anak merasakan kehangatan dan perhatian orangtua
yang dapat mencegah anak melakukan pelarian ke hal-hal negatif. Pihak keluarga sudah saatnya menjadi tempat berlari
bagi anak ketika menghadapi permasalahan dalam kehidupannya.
Adapun pihak sekolah atau lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga
sifatnya hanya membantu proses pendidikan yang dilakukan orangtua agar pendidikan
menjadi paripurna (BS Mardiatmadja: 2004). Pungkasnya, peran keluarga dalam pendidikan anak perlu dioptimalkan. Anak dalam
kehidupan keluarga merupakan amanah yang harus dipelihara dan dijaga dengan
memberikan pendidikan yang sebaik-baiknya. Sebab, dari rumahlah, seru Kartini,
kekuatan mendidik itu berasal. Wallahu
a’lam.
HENDRA
SUGIANTORO
Pegiat
Transform Institute, tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar