Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini MAJALAH PEWARA DINAMIKA UNY Volume 13 Nomor 54 Agustus 2012
Mohammad Hatta atau kerap dipanggil Bung
Hatta adalah wakil presiden pertama Republik Indonesia. Hampir menjadi pengetahuan
umum, tulisan pertama Bung Hatta berjudul Namaku
Hindania!. Tulisan itu dimuat di majalah Jong Sumatera sekitar tahun 1920. Beberapa catatan sejarah menyebut
demikian, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk ditelusuri lebih lanjut.
Banyak tulisan-tulisan yang telah digoreskan Bung Hatta.
Ketika kuliah di negeri Belanda, Bung Hatta memasuki organisasi Indische Vereeniging—yang kemudian
berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging, lalu berubah lagi namanya menjadi Perhimpunan Indonesia. Dalam
organisasi itu, Bung Hatta menumpahkan pemikiran-pemikirannya. Tulisan berjudul
De economische positie van den
Indonesischen grondverhuurder (Kedudukan ekonomi para penyewa tanah orang
Indonesia) dan Eenige aantekeningen
betreffende de grondhuur-ordonnantie in Indonesi (Beberapa catatan tentang
ordonansi penyewaan tanah di Indonesia) dikatakan Bung Hatta merupakan dua
tulisan ilmiah pertamanya yang dipublikasikan di Hindia Poetra. Berikut pengakuan Bung Hatta, “Itulah permulaan aku membuat tulisan ilmiah, tulisanku pertama dalam
Hindia Poetra. Sekalipun
pengetahuanku belum banyak tentang ekonomi, aku berusaha sedapat-dapatnya buah
tanganku berdasarkan ilmiah.”
Dilihat dari penuturan Bung Hatta, beliau memang berjuang serius
menyelesaikan dua tulisan di atas. Topik penyewaan tanah yang diambil Bung
Hatta memang sedang menjadi isu hangat di Hindia Belanda (sebelum bernama
Indonesia) ketika itu. Bung Hatta berkata, “Lama
juga waktu yang kupergunakan untuk mengarang dua karangan (itu). Kalau aku tak
salah, kira-kira enam bulan. Sambil belajar aku mengarang dan sedapat-dapatnya
membaca pula buku yang dapat aku pergunakan sebagai bahan atau dasar.”
Enam bulan, kata Bung Hatta, untuk menyelesaikan dua tulisan di atas. Bung
Hatta memang membuat dua tulisan itu tak main-main. Banyak buku yang digunakan
sebagai rujukan, salah satunya buku karya E von Bohm Bawerk berjudul Kapital und Kapitalzins (Modal dan Bunga
Modal). Dengan menulis disertai membaca berbagai literatur, Bung Hatta belajar
banyak hal. Dua tulisan itu menjadi spirit Bung Hatta menghasilkan tulisan
lebih lanjut. “Lambat laun itu menjadi
kebiasaanku. Aku memperoleh dasar ilmiah bagi buah tanganku dan pengetahuanku
bertambah dalam dan luas,” tutur Bung Hatta.
Dari paparan tentang Bung Hatta di atas, kita bisa mengkaitkannya dengan
keharusan bagi mahasiswa mempublikasikan makalah di jurnal ilmiah sebagai
syarat kelulusan setelah Agustus 2012. Ketentuan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lewat suratnya Nomor 152/E/T/2012
tertanggal 27 Januari 2012 itu masih memunculkan polemik hingga kini. Terlepas
dari pro dan kontra terkait kebijakan tersebut, menulis ilmiah dan publikasi sebagai
bagian dari tradisi intelektual sebenarnya memang perlu dilakukan. Tradisi
tersebut perlu dimiliki oleh seluruh akademisi yang berada di perguruan tinggi.
Karya ilmiah, kata Prof. Dr. T. Jacob (2001), adalah anak otak seorang
akademikus. Menulis sebagai bagian dari komunikasi ilmiah perlu digalakkan
untuk memajukan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan.
Tidak sekadar
tuntutan kelulusan, menulis ilmiah merupakan bagian dari pertanggungjawaban
akademik. Segala ilmu, wawasan, dan pengetahuan yang diperoleh mahasiswa di
perguruan tinggi tentu perlu disebarluaskan bagi kemajuan masyarakat. Lewat
menulis ilmiah, dialektika keilmuan dimungkinkan terjadi. Maka, mahasiswa perlu
membangun kesadaran untuk menempa dan melatih dirinya agar memiliki kemampuan
menulis ilmiah. Sebagaimana dilakukan Bung Hatta, menulis ilmiah adalah
sebentuk perjuangan tersendiri.
Dalam hal ini,
keterampilan menulis ilmiah selayaknya dimiliki oleh mahasiswa. Mahasiswa harus
tertantang untuk memiliki keterampilan tersebut bagi pengembangan keilmuannya.
Di sisi lain, pihak universitas, terutama pihak jurusan atau fakultas, juga bertanggung
jawab mengasah keterampilan menulis mahasiswa. Keterampilan menulis sebagai
bagian dari keterampilan berbahasa memang telah dilakukan sejak jenjang pendidikan
dasar. Namun, keterampilan menulis bagi mahasiswa, ujar Eti Nurhayati (2011),
bukanlah urusan sederhana menuliskan bahasa ke dalam lambang tulisan seperti
anak-anak pada awal masa belajar.
Keterampilan
menulis bagi mahasiswa perlu diasah dan dilatih secara berkesinambungan. Hal
ini juga mengingat banyaknya opini yang mengatakan bahwa tradisi menulis di
kalangan mahasiswa masih relatif rendah. Mahasiswa perlu terus-menerus diberi
inspirasi, motivasi, dan apresiasi dalam menulis ilmiah. Bahkan, ruang-ruang
publikasi yang diterbitkan oleh perguruan tinggi untuk mahasiswanya perlu
diperbanyak. Nulla dies sine linea.
0 komentar:
Posting Komentar