Dimuat di Suara Mahasiswa, SKH KEDAULATAN RAKYAT, Selasa, 7 Agustus 2012
Kini kita menjalankan ibadah puasa
Ramadan 1433 H. Lewat Ramadan, kita harapannya mampu mendidik
diri sekaligus membangun kesalehan sosial. Kita berharap mampu menjalani ibadah puasa Ramadan lebih
baik untuk sebuah idealisme kebangunan negeri. Kita melakukan puasa bukan untuk
kepentingan diri semata, tetapi
juga kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.
Hal ini didasari fakta belum mampunya ibadah puasa Ramadan memperbaiki kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkali-kali bangsa ini menjalankan puasa Ramadan, namun kurang memberikan dampak signifikan bagi arus perubahan ke arah lebih positif. Salahuddin Wahid (2006) mensinyalir mutu puasa kebanyakan dari kita selama ini belum seperti yang diharapkan. Indikatornya adalah kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi yang masih merajalela, misalnya, merupakan cermin miskinnya karakter mulia. Perilaku ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan ataupun kriminalitas masih kentara di sekitar kita. Perilaku buruk lainnya begitu tampak dalam kehidupan.
Maka, puasa Ramadan yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tentu tak sekadar berhenti tanpa gerak amal. Puasa diharapkan mampu mendidik masing-masing diri kita menjadi manusia yang berkontribusi positif. Puasa menghendaki kita mampu mempraktikkan dimensi humanisasi dan liberasi dalam kehidupan. Melalui puasa, kita perlu mendidik diri untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tak hanya berhenti pada bulan Ramadan. Tantangan dari puasa yang kita lakukan tak sekadar terletak pada kemampuan menahan lapar dan dahaga, tetapi kemampuan kita membentuk karakter mulia yang terus bertahan setelah Ramadan. Ibadah puasa Ramadan diarahkan untuk menggerakkan transformasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kata Yudi Latif (2006), puasa merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, ibadah puasa Ramadan tak menemukan relevansi.
Pada titik ini, evaluasi diri menjadi niscaya. Ibadah puasa Ramadan hendaknya tidak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Kita tidak dilarang melakukan sedekah sebanyak-banyaknya selama bulan Ramadan, namun kita juga perlu memiliki solidaritas sosial berjangka panjang. Kejujuran yang kita tegakkan bukan semata karena bulan Ramadan penuh pahala, namun kita menyadari bahwa kejujuran merupakan perilaku yang harus kita miliki. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadan, kita belajar menyeimbangkan tiga aspek fundamental dalam ibadah puasa sebagaimana disebutkan Komaruddin Hidayat (2006) terdiri dari pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa Ramadan, kita mengaktifkan kekuatan rohani, lalu mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, sehingga mengalami proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai Ilahi. Pijakan transendensi ini akhirnya mengarahkan kita membangun kehidupan.
Dengan menjalankan ibadah puasa, kita menyadari tidak ada manusia yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebesaran hanya milik Tuhan dan kita pun menjadi manusia yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Kita pun membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tidak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan. Pungkasnya, puasa kita untuk membangun Indonesia lebih baik. Wallahu a’lam.
Hal ini didasari fakta belum mampunya ibadah puasa Ramadan memperbaiki kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berkali-kali bangsa ini menjalankan puasa Ramadan, namun kurang memberikan dampak signifikan bagi arus perubahan ke arah lebih positif. Salahuddin Wahid (2006) mensinyalir mutu puasa kebanyakan dari kita selama ini belum seperti yang diharapkan. Indikatornya adalah kehidupan sehari-hari. Kasus korupsi yang masih merajalela, misalnya, merupakan cermin miskinnya karakter mulia. Perilaku ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan ataupun kriminalitas masih kentara di sekitar kita. Perilaku buruk lainnya begitu tampak dalam kehidupan.
Maka, puasa Ramadan yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan (transendensi) tentu tak sekadar berhenti tanpa gerak amal. Puasa diharapkan mampu mendidik masing-masing diri kita menjadi manusia yang berkontribusi positif. Puasa menghendaki kita mampu mempraktikkan dimensi humanisasi dan liberasi dalam kehidupan. Melalui puasa, kita perlu mendidik diri untuk memiliki kepekaan dan solidaritas sosial yang tak hanya berhenti pada bulan Ramadan. Tantangan dari puasa yang kita lakukan tak sekadar terletak pada kemampuan menahan lapar dan dahaga, tetapi kemampuan kita membentuk karakter mulia yang terus bertahan setelah Ramadan. Ibadah puasa Ramadan diarahkan untuk menggerakkan transformasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kata Yudi Latif (2006), puasa merupakan wahana pertemuan antara tauhidullah dan tauhidul ummah, antara perkhidmatan kepada Tuhan dan perkhidmatan kepada kemanusiaan. Tanpa memberi dampak sosial, ibadah puasa Ramadan tak menemukan relevansi.
Pada titik ini, evaluasi diri menjadi niscaya. Ibadah puasa Ramadan hendaknya tidak sekadar ritual tahunan tanpa makna. Kita tidak dilarang melakukan sedekah sebanyak-banyaknya selama bulan Ramadan, namun kita juga perlu memiliki solidaritas sosial berjangka panjang. Kejujuran yang kita tegakkan bukan semata karena bulan Ramadan penuh pahala, namun kita menyadari bahwa kejujuran merupakan perilaku yang harus kita miliki. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadan, kita belajar menyeimbangkan tiga aspek fundamental dalam ibadah puasa sebagaimana disebutkan Komaruddin Hidayat (2006) terdiri dari pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa Ramadan, kita mengaktifkan kekuatan rohani, lalu mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin, sehingga mengalami proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai Ilahi. Pijakan transendensi ini akhirnya mengarahkan kita membangun kehidupan.
Dengan menjalankan ibadah puasa, kita menyadari tidak ada manusia yang lebih tinggi dan lebih rendah. Kebesaran hanya milik Tuhan dan kita pun menjadi manusia yang menjalankan proses humanisasi yang bersifat transendental. Kita pun membangun kehidupan dengan misi pembebasan, mengangkat derajat manusia agar memiliki daya yang tidak ada perbedaan kecuali pada kadar ketakwaan. Pungkasnya, puasa kita untuk membangun Indonesia lebih baik. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
0 komentar:
Posting Komentar