Membaca untuk Eksistensi Hidup

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN MERAPI PEMBARUAN, Rabu, 29 Agustus 2012

Berbicara tentang membaca, ada kisah tokoh-tokoh bangsa di masa lampau yang layak dikenang. Lihat saja Bung Karno dan Bung Hatta. Membaca menjadi bagian dari hidup mereka. Bersamaan dengan budaya membaca, mereka juga mewariskan pemikiran secara produktif lewat tulisan. Mereka melakukan pergerakan, membaca, menulis, dan membangun bangsa-negara ini.
Bagi mereka, membaca buku semacam heroisme tersendiri. Bukan kekerasan dengan pisau lipat, bedil atau bom yang akhirnya mereka pertontonkan, tetapi kedalaman ilmu, pengetahuan, wawasan, dan pemikiran. Saksikan saja Bung Hatta yang membawa peti-peti berisi buku ketika tamat kuliah dari negeri Belanda dan ketika diasingkan ke Boven Digul dan Banda Neira. Beliau juga mendirikan perpustakaan sebagai salah satu sarana pendidikan untuk masyarakat di tempat pembuangannya. Begitu pula dengan Bung Karno yang merasa stress di penjara Banceuy dan Sukamiskin karena tak bisa mengakses bacaan secara leluasa. Buku tak lepas dari Bung Karno ketika diasingkan ke Ende dan Bengkulu. Sampai usia senja, mereka tetap membaca. Mohammad Natsir, Buya Hamka, Ki Hajar Dewantara, Kartini, dan lainnya juga memiliki kegemaran membaca. 

Tentu saja, tokoh-tokoh bangsa di masa silam yang gemar membaca perlu menjadi teladan. Disadari atau tidak, masyarakat yang budaya membacanya rendah akan berdampak terhadap mandeknya kemajuan peradaban bangsa. Agus M. Irkham, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat, menyebut keengganan membaca, terutama buku, adalah bentuk penjajahan diri (self colonization) yang akan menyebabkan kematian. Bukan kematian formal-fisik, tetapi kematian ideal-substansial berupa kejumudan pikiran, sempitnya gerak-peran sosial, keterasingan jiwa, dan rendahnya kesadaran diri untuk selalu merasa terpanggil mengurusi masalah kehidupan. Mengapa keengganan membaca dapat menyebabkan kematian ideal-substansial? Manusia tercipta dilingkupi keterbatasan, baik ilmu, informasi, ruang maupun waktu. Untuk menutupi kekurangan itu, manusia harus belajar. Membaca (buku) adalah salah satu sarana pembelajaran itu (Agus M. Irkham: 2012). 

Tokoh pendidikan HAR Tilaar (1999) pun pernah berujar bahwa membaca adalah pondasi dari proses belajar. Keharusan belajar tentu tidak hanya untuk pelajar di bangku sekolah, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Belajar itu sepanjang hayat. Membaca merupakan salah satu proses belajar yang efektif dilakukan. Dengan membaca, ujar Farida Rahim (2007), masyarakat dapat memperoleh wawasan dan pengetahuan baru yang kian meningkatkan kecerdasannya sehingga lebih mampu menjawab tantangan-tantangan hidup pada masa-masa mendatang.

Intinya, membaca untuk eksistensi hidup. Dalam hal ini, kita perlu mengapresiasi usaha Perpustakaan Nasional  (Perpusnas) RI mencerdaskan kehidupan bangsa. Perpustakaan memang  salah satu upaya menumbuhkan budaya membaca. Tak hanya bergantung pada perpustakaan dengan bangunan permanen, mobil dan kapal perpustakaan keliling juga disediakan Perpusnas RI untuk menjangkau masyarakat di pelosok-pelosok. Dilaporkan sekitar 65 mobil perpustakaan keliling disalurkan untuk perpustakaan provinsi sampai tahun 2011 lalu. Adapun perpustakaan kota/kabupaten yang menerima mobil perpustakaan keliling sebanyak 399 kota/kabupaten. Untuk menjangkau wilayah non-daratan, penyebaran kapal perpustakaan keliling antara lain di Bengkalis, Bintan, Selayar, Morowali, Wakatobi, Pangkajene (Kepulaan Pangkep), dan Ternate (Kompas, 15/5/2012). Usaha ini tentu perlu dioptimalkan, sehingga seluruh masyarakat di negeri ini dapat mengakses perpustakaan.
Di Yogyakarta sendiri, Bank Buku Jogja yang berdiri sejak tahun 2010 merupakan angin segar untuk memberi akses masyarakat yang membutuhkan buku. Dalam laporannya, penyumbang buku ke Bank Buku Jogja yang dikelola Perpustakaan Kota Yogyakarta ini begitu banyak. Buku-buku yang tersedia didistribusikan tak hanya di lingkup Yogyakarta, tetapi sampai ke luar Jawa. Gerakan budaya membaca yang digalakkan komunitas juga berperan penting. Keberadaan Pustaka Menyapa Mletik Malioboro (Pustaka Mletik), misalnya, bisa menjadi inspirasi. Sejak berdirinya, respons pedagang kaki lima, pedagang asongan, pedagang angkringan, penarik becak, juru parkir, pelayan toko, dan komunitas lainnya di kawasan Malioboro ternyata relatif baik. Sujarwo Putra (2012) selaku Presidum Paguyuban Kawasan Malioboro melaporkan antusiasme membaca komunitas di Malioboro begitu tinggi.

Maka, optimisme tumbuhnya budaya membaca masyarakat memang tak boleh pudar. Dengan kemampuan dan kemauan membaca, ujar Fuad Hassan (2004), masyarakat akan bisa mengatasi ignoransi (kebodohan). Dengan membaca, kita akan menjadi manusia pembelajar yang terus memperkaya ilmu, wawasan dan pengetahuan. Tanpa membaca, kita akan terus tertindas dan tertinggal jauh di belakang. Penindasan tidak sekadar berasal dari subyek di luar diri kita. Karena tak membaca, kita bisa tertindas secara psikologis akibat memandang diri dan kehidupan ini begitu sempit. Permasalahan hidup cenderung tak disikapi positif. Kita hanya mengenal dunia di sekitar diri kita yang terbatas. Sesungguhnya membaca mampu memperluas cakrawala. Dengan membaca, kita akan mengepakkan sayap ke dunia lebih luas, sehingga dapat mencerap segala mutiara-mutiara kehidupan.

Agar hidup lebih bermakna, kita memang perlu membiasakan membaca. Saatnya kita menjadi bagian dari masyarakat yang berminat dan gemar membaca di tengah dinamika dan perkembangan zaman. Membaca dalam arti yang sebenarnya, membaca dengan pemahaman, membaca untuk hidup. Membaca untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Kita yang gemar membaca akan lebih berdaya. Selamat membaca. Wallahu a’lam.

0 komentar: