Dimuat di Resensi Buku JATENG POS, Minggu, 29 Juli 2012
Judul
Buku:
Berjalan Menembus Batas Penulis: A.
Fuadi, dkk. Penerbit:
Bentang, Yogyakarta Cetakan:
I, Januari 2012 Tebal:
xvi+172 halaman
Friedrich Nietzsche pernah berujar bahwa orang yang
memiliki alasan untuk hidup boleh dikatakan dapat selalu tegar. Bagi
masing-masing diri kita, alasan untuk hidup dimungkinkan berbeda. Namun,
bisakah kita tegar apabila memiliki keterbatasan diri? Entah apa alasan hidup
Ray Charles yang buta sejak berusia sembilan tahun. Meskipun buta sampai
meninggal dunia, ketegaran Ray Charles akhirnya menempatkan dirinya sebagai
penyanyi dan pianis masyhur Amerika Serikat.
Meskipun kondisinya berbeda, kisah J. Sumardianta dalam
buku ini menarik disimak. Sejak tahun 2006, guru di salah satu SMA swasta di
Yogyakarta itu memiliki kelemahan apabila berlama-lama di depan layar komputer.
Apabila dipaksa terasa pusing dan huruf di layar seperti menari-menari. Setelah
diperiksakan ke dokter, tekanan bola matanya dideteksi melebihi angka normal di
atas 21 mmHg. Normalnya, tekanan bola mata pada kisaran 10-20 mmHg. Dokter
mendiagnosis J. Sumardianta terkena hipertensi mata (ocular hypertension). Jika tak telaten menjaga kesehatan mata,
penyakit tersebut bisa merusak syaraf indera sehingga terjadi glaukoma. Selain
penciutan lapang pandangan, glaukoma bisa memicu kebutaan total secara
permanen.
Namun demikian,
pengurangan fungsi mata tak mengurangi dedikasi J.
Sumardianta dalam bekerja. Selain tekun menjalani terapi dan berkonsultasi ke
dokter agar matanya tak semakin aus, ia tetap menjaga kebiasaan membaca dan
menulis. Mata yang mudah pegal saat membaca, ia atasi dengan teknik membaca
cepat (spead reading) dan
melompat-lompat (skimming). Ia
mengatasi kelelahan matanya saat menulis di depan layar monitor dengan
beristirahat 10 sampai 15 menit.
Baginya,
halangan pada mata bukan alasan untuk tak
berkarya
dan berprestasi. Di depan murid-muridnya, ia juga berusaha menampilkan sikap sebagai guru
profesional.
Menurutnya,
mata fisik untuk memandang realitas boleh tumpul, tetapi mata persepsi (mripat ing iman) harus terang
benderang. Keterbatasan
mata justru menolong dirinya untuk finding
God in all things, menemukan rahmat Tuhan dalam segala. J. Sumardianta bisa
dikatakan tegar dan bisa memaknai hidup dengan keterbatasan matanya.
Keterbatasan juga dihadapi secara tegar oleh Rina Shu,
perempuan kelahiran tahun 1986. Sejak bayi, ia mengalami kesulitan tengkurap
dan merangkak, bahkan tak pernah mengalami langkah pertama sebagaimana anak
normal lainnya. Ia menderita muscullar
distrophy atau kelainan genetik yang menyerang fungsi otot. Dengan dukungan
orangtuanya, ia menerima kenyataan dengan berbesar hati. Usai tamat dari
Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta Selatan, ia memberanikan diri melanjutkan
ke sekolah umum. Namun, karena kondisi tak memungkinkan, ia rela melepaskan
pendidikan formalnya saat kelas 2 SMA.
Namun,
Rina Shu tak ingin hidupnya berakhir tanpa berbuat sesuatu. Dengan kakinya yang
lumpuh, aktivitas menulis menjadi pilihannya. Dengan usaha keras, novel
pertamanya berjudul Kimi Wo Shinjiteru
berhasil terbit pada tahun 2011 silam. Baginya, melangkah tak harus dengan
kaki, tetapi yang diperlukan untuk melangkah adalah semangat yang besar. Dalam
benaknya, ia juga berjanji akan berusaha mengangkat harkat hidup para difabel.
Selain
kisah di atas, ada kisah sebelas anak manusia lainnya dalam buku ini. Tak
ketinggalan pula A. Fuadi berbagi spirit dan inspirasinya. Pengarang novel Negeri 5 Menara itu mengaku tak pernah
menyangka dengan yang dicapainya saat ini. Misalnya ia bermimpi menempuh
jenjang pendidikan tinggi, namun tak terbayang akan sampai pascasarjana di
London, Inggris, dan di Washington D.C. Ia memang ingin merantau ke luar
negeri, tetapi tak menyangka akan menjejakkan kaki ke lebih dari 30 negara.
Hidup sederhana di kampungnya, Nagari Bayur, di pinggir Danau Maninjau,
Sumatera Barat, ia mengaku bermodal mimpi. Namun, tegasnya, bukan sekadar
impian, tetapi impian yang diperjuangkan dengan teguh dan habis-habisan.
Menurutnya, harapan dan impian yang diingat-ingat terus dalam hati adalah
sebentuk doa.
Keterbatasan
semestinya bukanlah hambatan
bercita-cita. Menarik merenungkan pesan
A. Fuadi, cita-cita yang tinggi tak ada gunanya apabila hanya angan-angan.
Kunci keberhasilan menggapai cita-cita adalah kombinasi yang kuat antara man jadda wajada (siapa
bersungguh-sungguh akan berhasil), man
shabara zhafira (siapa bersabar akan beruntung), doa, dan keikhlasan.
Kesungguhan artinya mengusahakan apapun dengan energi dan usaha ekstra, di atas
usaha rata-rata orang lain. Kalau melebihkan usaha di atas rata-rata, ujar A.
Fuadi, biasanya hasilnya juga akan di atas rata-rata. Di atas rata-rata,
biasanya menjadi yang terbaik. Apabila ada kesungguhan dan spirit
berjuang, apapun kondisi yang kita miliki,
langit pun tak lagi menjadi batas.
Nah, bersiap menembus batas?
HENDRA SUGIANTORO
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar