Judul Buku: Berjalan Menembus Batas Penulis: A. Fuadi, dkk. Penerbit: Bentang, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2012 Tebal: xvi+172 halaman 
Friedrich Nietzsche pernah berujar bahwa orang yang memiliki alasan untuk hidup boleh dikatakan dapat selalu tegar. Bagi masing-masing diri kita, alasan untuk hidup dimungkinkan berbeda. Namun, bisakah kita tegar apabila memiliki keterbatasan diri? Entah apa alasan hidup Ray Charles yang buta sejak berusia sembilan tahun. Meskipun buta sampai meninggal dunia, ketegaran Ray Charles akhirnya menempatkan dirinya sebagai penyanyi dan pianis masyhur Amerika Serikat. 
Meskipun kondisinya berbeda, kisah J. Sumardianta dalam buku ini menarik disimak. Sejak tahun 2006, guru di salah satu SMA swasta di Yogyakarta itu memiliki kelemahan apabila berlama-lama di depan layar komputer. Apabila dipaksa terasa pusing dan huruf di layar seperti menari-menari. Setelah diperiksakan ke dokter, tekanan bola matanya dideteksi melebihi angka normal di atas 21 mmHg. Normalnya, tekanan bola mata pada kisaran 10-20 mmHg. Dokter mendiagnosis J. Sumardianta terkena hipertensi mata (ocular hypertension). Jika tak telaten menjaga kesehatan mata, penyakit tersebut bisa merusak syaraf indera sehingga terjadi glaukoma. Selain penciutan lapang pandangan, glaukoma bisa memicu kebutaan total secara permanen.
Namun demikian, pengurangan fungsi mata tak mengurangi dedikasi J. Sumardianta dalam bekerja. Selain tekun menjalani terapi dan berkonsultasi ke dokter agar matanya tak semakin aus, ia tetap menjaga kebiasaan membaca dan menulis. Mata yang mudah pegal saat membaca, ia atasi dengan teknik membaca cepat (spead reading) dan melompat-lompat (skimming). Ia mengatasi kelelahan matanya saat menulis di depan layar monitor dengan beristirahat 10 sampai 15 menit. Baginya, halangan pada mata bukan alasan untuk tak berkarya dan berprestasi. Di depan murid-muridnya, ia juga berusaha menampilkan sikap sebagai guru profesional.
             
Menurutnya, mata fisik untuk memandang realitas boleh tumpul, tetapi mata persepsi (mripat ing iman) harus terang benderang. Keterbatasan mata justru menolong dirinya untuk finding God in all things, menemukan rahmat Tuhan dalam segala. J. Sumardianta bisa dikatakan tegar dan bisa memaknai hidup dengan keterbatasan matanya.
            
Keterbatasan juga dihadapi secara tegar oleh Rina Shu, perempuan kelahiran tahun 1986. Sejak bayi, ia mengalami kesulitan tengkurap dan merangkak, bahkan tak pernah mengalami langkah pertama sebagaimana anak normal lainnya. Ia menderita muscullar distrophy atau kelainan genetik yang menyerang fungsi otot. Dengan dukungan orangtuanya, ia menerima kenyataan dengan berbesar hati. Usai tamat dari Sekolah Luar Biasa (SLB) di Jakarta Selatan, ia memberanikan diri melanjutkan ke sekolah umum. Namun, karena kondisi tak memungkinkan, ia rela melepaskan pendidikan formalnya saat kelas 2 SMA.
             
Namun, Rina Shu tak ingin hidupnya berakhir tanpa berbuat sesuatu. Dengan kakinya yang lumpuh, aktivitas menulis menjadi pilihannya. Dengan usaha keras, novel pertamanya berjudul Kimi Wo Shinjiteru berhasil terbit pada tahun 2011 silam. Baginya, melangkah tak harus dengan kaki, tetapi yang diperlukan untuk melangkah adalah semangat yang besar. Dalam benaknya, ia juga berjanji akan berusaha mengangkat harkat hidup para difabel.
Selain kisah di atas, ada kisah sebelas anak manusia lainnya dalam buku ini. Tak ketinggalan pula A. Fuadi berbagi spirit dan inspirasinya. Pengarang novel Negeri 5 Menara itu mengaku tak pernah menyangka dengan yang dicapainya saat ini. Misalnya ia bermimpi menempuh jenjang pendidikan tinggi, namun tak terbayang akan sampai pascasarjana di London, Inggris, dan di Washington D.C. Ia memang ingin merantau ke luar negeri, tetapi tak menyangka akan menjejakkan kaki ke lebih dari 30 negara. Hidup sederhana di kampungnya, Nagari Bayur, di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat, ia mengaku bermodal mimpi. Namun, tegasnya, bukan sekadar impian, tetapi impian yang diperjuangkan dengan teguh dan habis-habisan. Menurutnya, harapan dan impian yang diingat-ingat terus dalam hati adalah sebentuk doa.  
Keterbatasan semestinya bukanlah hambatan bercita-cita. Menarik merenungkan pesan A. Fuadi, cita-cita yang tinggi tak ada gunanya apabila hanya angan-angan. Kunci keberhasilan menggapai cita-cita adalah kombinasi yang kuat antara man jadda wajada (siapa bersungguh-sungguh akan berhasil), man shabara zhafira (siapa bersabar akan beruntung), doa, dan keikhlasan. Kesungguhan artinya mengusahakan apapun dengan energi dan usaha ekstra, di atas usaha rata-rata orang lain. Kalau melebihkan usaha di atas rata-rata, ujar A. Fuadi, biasanya hasilnya juga akan di atas rata-rata. Di atas rata-rata, biasanya menjadi yang terbaik. Apabila ada kesungguhan dan spirit berjuang, apapun kondisi yang kita miliki, langit pun tak lagi menjadi batas. Nah, bersiap menembus batas? 
HENDRA SUGIANTORO 
Pembaca buku, tinggal di Yogyakarta