Belajar Kearifan Hidup dari Si Kucing

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Perada KORAN JAKARTA, Jum'at, 12 April 2013


Judul Buku: Jangan Panggil Aku Kitty Penulis: Samsaimo Paramina Penerbit: FlashBooks Cetakan: I, 2013 Tebal: 188 halaman ISBN: 978-602-7724-34-1

Di sekitar kita, keberadaan kucing bisa dijumpai di mana-mana. Seperti halnya manusia, tabiat dan karakter kucing berbeda-beda. Kucing adalah makhluk Tuhan yang juga punya perasaan dan keinginan. Dalam novel yang menjadikan kucing sebagai tokoh imajiner ini, kita diajak untuk menyelami kehidupan seekor kucing yang diberi nama Kitty. Ternyata, kucing bisa memiliki karakter baik apabila dibesarkan dan dididik secara baik pula.

Awalnya, tokoh kucing dalam novel ini hidup di alam liar setelah lahir. Nama Kitty diberikan oleh Mbak Dinik yang menemukannya di got dekat rumahnya. Saat ditemukan, kucing berbulu hitam pekat itu berusia 3 bulan dengan tubuh yang kurus. Saking telatennya dirawat dan disayangi, Kitty tumbuh tak kerempeng. Bahkan, Kitty selalu dimandikan demi kebersihan. Bulunya yang hitam legam kian mengkilap, sorot mata pun tajam menghunjam (hlm. 14-15). 

Pada umumnya, kucing membenci air. Namun, itu hanya sebentuk ketakutan yang telanjur menjadi mitos bagi bangsa kucing. Ketakutan terkena air malah bisa dikatakan terhunjam di benak pikiran kucing semenjak lahir. Namun, dengan kesabaran Mbak Dinik memandikannya, Kitty mampu melawan ketakutan itu. Novel ini menarik dibaca karena ada pelajaran-pelajaran yang bisa kita resapi. Ketakutan-ketakutan juga kerapkali melanda benak manusia, yang fatalnya membebani masa depan. Padahal, ketakutan itu hanya rekayasa pikiran yang belum terbukti benar. 

Judul novel “Jangan Panggil Aku Kitty” ini mengandung pesan bagi kita agar menjadi manusia yang benar-benar dewasa. Sebagaimana Kitty, ketika menginjak besar, ia tak mau dipanggil dengan nama itu lagi. Menurutnya, Kitty itu nama kucing kecil yang imut. Tapi, kini ia sudah dewasa dan tak lucu lagi (hlm. 107). Karena itu, ia tak ingin selamanya menjadi kucing rumahan. Dengan tekad bulat, ia berkelana. Dengan sesama kucing, ia mengenalkan diri bernama si Hitam. Tantangan pun menghadang. Kalau sebelumnya selalu disiapkan makanan, kini ia sekuat daya mencari tikus di mana-mana. Hebatnya, ia tak sudi mencuri. Ketika melihat orang makan, ia tak mau merintih dengan suara khas agar diberi. Berminggu-minggu di alam bebas, keterampilan mencari makannya terasah.

Kita sebagai manusia juga perlu hidup dalam tantangan. Alam bebas justru membuat kita mampu beraktualisasi diri dan mengembangkan potensi. Sebagaimana manusia mencari nafkah, si Hitam kerapkali kesulitan mendapatkan asupan makanan. Tikus-tikus yang biasanya banyak terkadang menyusut. Menyadari masa paceklik itu, si Hitam trenyuh melihat nasib kucing lainnya. Ketika berhasil mendapatkan makanan, ia membagi makanan ke teman-temannya. Si Hitam tak mau mementingkan dirinya sendiri. 

Dalam masa kesusahan itu, si Hitam mengetahui populasi tikus cepat berkembang di persawahan. Tapi, si Hitam menyadari ada ekosistem yang telah digariskan Tuhan.  Menurutnya, tikus di sawah telah didesain Sang Pencipta sebagai santapan hewan predatornya. Yang membuatnya prihatin, ular sebagai predator tikus juga mulai menyusut karena ditangkap manusia. Bahkan, sengaja dicari karena laku dijual dengan harga setimpal. Kulit ular untuk bahan dompet, ikat pinggang, atau keperluan lainnya. Sedangkan daging dan jeroannya untuk obat. Hidup di alam bebas, si Hitam merasakan ada ekosistem tak seimbang. Panen gagal karena serangan hama tikus, sehingga menyebabkan harga beras melonjak tajam. Manusia yang susah malah bertindak lebih ngawur lagi. Tak terasa, manusia menciptakan bencana di mana-mana. Bencana alam dan bencana sosial (hlm. 137). 

Novel dengan sudut pandang kucing ini menarik disimak karena seolah-olah menyindir kita sebagai manusia. Manusia yang dianugerahi akal acapkali bertindak tanpa mengindahkan etika sosial dan etika lingkungan. Kita sebagai manusia kerapkali tidak dewasa. Tentu, manusia harus lebih arif menjalani kehidupan ketimbang tokoh kucing dalam novel ini! (Hendra Sugiantoro).

0 komentar: