Pilgub Jateng, Demokrasi atau Golputkrasi?

Oleh: HENDRA SUGIANTORO
Dimuat di Opini KORAN SINDO DIY-JATENG, Rabu, 20 Maret 2013

Dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur Jawa Tengah 26 Mei 2013—selanjutnya Pilgub Jateng 2013—, masyarakat golongan putih (golput) alias tidak turut memilih di bilik suara dimunginkan terjadi. Bahkan, angka potensial golput bisa saja di luar batas toleransi. Pada Pilgub Jateng sebelumnya, angka golput sekitar 40% lebih. Itu mengungguli prosentase suara pasangan Bibit Waluyo-Rustriningsih. Jika tak disikapi secara cerdas dan bijak, angka golput pada Pilgub tahun ini dimungkinkan mencapai separuh dari masyarakat yang memiliki hak pilih.

Melihat ke belakang, fenomena golput di Indonesia sebenarnya tak hanya terjadi di era reformasi saat ini. Di zaman Orde Baru, golput malah menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap tatanan pemerintahan yang berkuasa. Kelompok masyarakat yang dikenal kritis pada saat itu memengaruhi masyarakat agar tak bersedia berpartisipasi dalam pemilihan umum. Adanya fenomena golput itu sering kali dipahami sebagai “hak di dalam hak”. Artinya, hak untuk memilih dimiliki masyarakat, tetapi masyarakat juga memiliki hak untuk tak memilih. Meskipun terkesan ambigu, pernyataan seperti itu dibenarkan sebagian kalangan tertentu. Menurut kalangan ini, demokrasi yang identik dengan kebebasan tak bisa melarang masyarakat untuk golput. Pertanyaannya, benarkah golput harus dimaklumi atas nama demokrasi sekalipun?

Siapa pun tentu mengerti bahwa demokrasi menghendaki kedaulatan berada di tangan rakyat. Melalui ajang pilkada/pemilu, rakyat mendapatkan kesempatan untuk mengartikulasikan kedaulatannya. Maka, tak terlalu salah jika dikatakan bahwa maraknya golput dengan sendirinya mengurangi legitimasi dari calon yang terpilih. Tingginya angka golput hampir terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia. Demokrasi yang identik dengan kedaulatan rakyat mengalami mati muda dengan tingginya angka golput. Maraknya golput menciptakan kedaulatan golput (golputkrasi). 

Dalam hal ini, demokrasi yang memberikan kebebasan tetap perlu diberi batas tegas. Jika golput dikatakan bagian dari demokrasi, apakah kita berani mengosongkan pemerintahan karena suara masyarakat sebagai pemilik kedaulatan mengalahkan pasangan calon yang berkompetisi? Jika tidak berani, lantas apa makna kedaulatan di tangan rakyat? Apa makna dari demokrasi sendiri? 

Yang jelas, Pilgub Jateng 2013 merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, pastisipasi aktif politik masyarakat Jateng tentu saja harus diupayakan maksimal. Dengan kata lain, demokrasi tidak serta-merta membebaskan masyarakat untuk “cuci tangan” dalam perhelatan Pilgub Jateng 2013 yang sesungguhnya merupakan—salah satu—sarana pelaksanaan kedaulatannya. Jika pun ada kebebasan, kebebasan itu adalah kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan yang sifatnya materi atau nonmateri. 

Maka itu, memobilisasi masyarakat Jateng untuk menggunakan hak pilihnya merupakan tantangan tersendiri. Memilih dalam Pilgub Jateng 2013 memang sebuah hak. Tetapi, menciptakan pemerintahan yang legitimate, berwibawa, dan profesional melalui Pilgub Jateng 2013 adalah sebuah kewajiban. Dengan demikian, segenap pihak seharusnya memiliki satu misi “masyarakat Jateng memilih tanpa golput”. Misi itulah yang setidaknya memacu tindakan segera untuk mencegah banyaknya golput, baik yang disebabkan faktor teknis maupun nonteknis. Yang bersifat teknis berupa tidak tertibnya data kependudukan yang kerap kali menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan hak pilihnya perlu segera disikapi. Pun, sosialisasi setiap tahapan Pilgub Jateng 2013 perlu terus diintensifkan ke masyarakat. 

Tidak kalah penting dari itu adalah penyebab golput karena faktor nonteknis, yakni rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap parpol ataupun calon pemimpin untuk menciptakan perubahan. Harus diakui jika perilaku parpol dan elite politik yang tampak mengabaikan etika politik menjadi titik pangkal apatisme masyarakat. Entah disadari atau tidak, parpol yang seharusnya menjadi institusi penegak demokrasi justru mematikan demokrasi itu sendiri karena cenderung pragmatis memaknai kekuasaan. Kalau mau berbicara lebih jauh, demokrasi di negeri ini malah mengalami “kematian kuadrat”. Di satu sisi, demokrasi mati karena masyarakat minim memberikan kedaulatannya kepada pemerintahan yang dipilih melalui ajang pemilihan. Di sisi lain, demokrasi mati karena parpol mengabaikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan setelah pemerintahan berjalan. Untuk itu, maraknya golput harus dijadikan ‘tamparan” bagi parpol dan elite politik untuk kemudian menegakkan etika politik yang bertujuan mewujudkan kebaikan masyarakat. 

Pungkasnya, siapa pun berharap agar tidak terjadi golputkrasi akibat demokrasi kehilangan maknanya dengan minimnya pengejawantahan kedaulatan rakyat? Pilgub Jateng 2013 semoga menjadi caontoh apik terkait partisipasi politik aktif masyarakat. Wallahu a’lam.
HENDRA SUGIANTORO
Pemerhati sosial politik

0 komentar: